Minggu, 25 Mei 2014

SEJARAH SUNNI - KONSEP AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA'AH

AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH
A.  Pendahuluan
Madzhab, menurut makna kebahasaannya, dapat diartikan sebagai cara memandang sesuatu mengikuti prinsip-prinsip dasar yang dijadikan acuan pegangan.[1]  Sejatinya, madzhab adalah pemikiran yang menawarkan cara-pandang paradigmatis tentang bagaimana memahami ajaran Islam dan bagaimana merumuskannya. Dalam konteks pemikiran, mazhab muncul sebagai alternatif yang terbuka dan tidak mengikat, bersifat intelektual murni, dan bebas dari kepentingan-kepentingan sosial dan politik.
Namun dalam konteksnya yang historis, sebuah mazhab pemikiran hampir tidak mungkin tumbuh dan berkembang tanpa pengaruh-pengaruh lingkungan sejarahnya. Karena produk pemikiran pada dasarnya adalah hasil interaksi dialogis antara pemikiran dan realitas-realitas yang dihadapinya. Dunia pemikiran mutlak mempertimbangkan hal tersebut sebagai variabel yang dapat memberi jaminan bagi diterimanya suatu produk pemikiran, sekaligus juga sebagai landasan kontekstual bagi historisitas suatu pemikiran. Maka tidak salah jika dinyatakan bahwa produk-produk pemikiran dalam Islam sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan politik yang berkembang pada saat produksi pemikiran itu terjadi. Malah lebih jauh dapat dikatakan bahwa kelahiran pemikiran-pemikiran Islam itu memang didorong oleh dinamika kehidupan sosial dan politik Islam masanya, di samping karena dorongan utama dari intelektualisme keagamaan.  
Oleh karena itu, suatu madzhab menjadi menarik untuk dikaji sebagai layar proyeksi untuk mendapatkan gambaran tentang ekspresi-ekspresi sosial, politik dan pemikiran yang terjadi pada masa pembentukannya hingga suatu wacana pemikiran hingga diterima menjadi formula ajaran yang baku.
Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah atau sering disingkat dengan sebutan Sunni, yang hingga perkembangan terkini menjadi mazhab yang paling populer dan paling banyak penganutnya di dunia Islam, dapat menjadi contoh kasus yang ideal dari proses formulasi mazhab pemikiran. Ia tidak hanya dapat bertahan dari serangan kritik-kritik pemikiran, tapi juga terbukti mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial-politik yang terus berlangsung selama berabad-abad, di wilayah-wilayah budaya yang beraneka ragam.
Sejarah panjang pembentukan mazhab Sunni itu menjadi semakin kompleks, mengingat bahwa ada banyak sekali disiplin pemikiran keislaman yang terlibat dalam proses konsolidasi paham mazhab hingga melingkupi hampir seluruh disiplin keilmuan Islam, untuk melengkapi struktur-bangun ajaran Islam Sunni. Secara garis besar, dapat disebutkan sebagai representasi utama keilmuan Sunni yaitu: ‘Ulum al-Qur’an, ‘Ulum al-Hadits, Fiqh, Ushul al-Fiqh, Kalam, dan Tashawwuf.
Setiap disiplin keilmuan inipun membentuk mazhab-mazhab disipliner internal mazhab Sunni. Sehingga dapat dimengerti jika di dalam tubuh mazhab Sunni sendiri terdapat sub-sub mazhab, yang kesemuanya menjadi kesatuan utuh yang melengkapi mazhab Sunni sebagai sebuah cara pandang paradigmatis yang variatif dan multi disipliner. Hal ini sekaligus juga menjelaskan bahwa meskipun mazhab Sunni telah dipandang baku sejak kemunculan al-Ghazali, namun tidak pernah ada ketetapan resmi tentang adanya rujukan tunggal dalam bermazhab Sunni. Dengan kata lain, selalu ada lebih dari rujukan yang diakui (mu’tabarāt). Bidang fiqh mengenal empat madzhab (al-madzahib al-arba’ah). Bidang hadits mengakui adanya enam kitab yang mu’tabar (al-Kutub al-Sittah). Bidang Kalam, terdapat tokoh-tokoh mu’tabar seperti Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abu Manshur al-Maturidi.[2] Bidang-bidang lain dalam kerangka Sunni pun mempunyai sejumlah rujukan yang tidak tunggal. Ini sekadar menunjukkan bahwa sesungguhnya mazhab Sunni tidak pernah baku dalam satu identitas formulatif yang tetap.
Kompleksitas mazhab Sunni ditambah lagi dengan kenyataan bahwa ada faktor-faktor lain di luar pemikiran intelektual murni yang ikut mempengaruhi proyek-proyek pembangunan mazhab Sunni, yaitu fakta-fakta historis kehidupan umat Islam di era formasi mazhab-mazhab Islam (the formative era), mulai dari fakta sosial, budaya, ekonomi, politik, ideologi, dan dinamika pemikiran itu sendiri. Sejarah kebesaran mazhab Sunni bahkan merupakan andil besar dari sokongan dari pranata-pranata dan politik terutama sejak masa pemerintahan al-Mutawakkil hingga masa Nizam al-Mulk.
Pengungkapan seluruh kompleksitas yang menaungi dan mengiringi kelahiran dan pertumbuhan mazhab Sunni itu, menjadi penting untuk menangkap spirit dan aspirasi vital dari paradigma ke-Sunni-an yang sesungguhnya. Hanya dengan cara ini konstruk paham Sunni dapat ditampilkan kembali ke alam sejarah masa kini secara aktif. Dengan demikiran, upaya revitalisasi (penghidupan kembali) dapat dilakukan sesuai dengan gambaran semangat hidupnya (vitalitas) yang awal, pada masa pertumbuhan dan perkembangannya.
B.   Pembacaan Ulang Terhadap Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Sejarah formulasi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah era ketika pemikiran menjadi bagian dari ekspresi-ekspresi sosial dan politik, yang secara definitif berlangsung pada masa ‘Abbasiyyah; dan karenanya ia juga menjadi bagian dari konflik-konflik sosial dan politik umat Islam pada masanya. Kenyataan inilah yang menjadi ciri kosmopolitanisme pemikiran Islam, karena aspek-aspeknya yang sedemikian lengkap, meliputi pemikiran keagamaan murni dan segala pemikiran yang diperlukan bagi pembangunan peradaban sosial dan politik Islam, dengan warna yang saling mempengaruhi. Hal ini juga sekaligus pernyataan Ira M. Lapidus, bahwa pemikiran Islam tumbuh subur karena banyak disponsori oleh pemerintah politik pada masanya.[3]
Prinsip paling dasar madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, sesuai dengan namanya, adalah Sunnah dan Jamā’ah. Dua prinsip tersebut terlihat sederhana untuk dipahami, namun sesungguhnya merupakan rangkuman dari seluruh proses wacana pemikiran, sosial dan politik yang menyedor seluruh energi ulama, penggiat dan penyokong paham tersebut hingga menjelma menjadi kekuatan paling dominan (ortodoksi) dalam sejarah Islam. Dalam prosesnya, terjadi perdebatan sengit mengenai apa yang dimaksud dengan sunnah dan jamaah, hingga pada batas bahwa hampir setiap pendapat membentuk madzhabnya sendiri. Perdebatan-perdebatan ini terus berlangsung hingga munculnya kompromi dari al-Ghazālī, dengan memasukkan berbagai disiplin pemikiran (kecuali filsafat) sebagai komponen yang melengkapi formula resmi mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
C.   Asal-usul Konseptual
Istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah menjadi istilah yang sangat polemis dalam wacana mazhab pemikiran Islam, karena secara historis istilah itu tidak muncul pada awal-awal perkembangan mazhab dalam Islam hingga masa-masa pertengahan khilāfah ‘Abbāsiyyah. Sementara penganut Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah belakangan sering menyitir sebuah hadits yang menegaskan bahwa dari 73 golongan umat hanya satu yang selamat. Hadits tersebut tidak menyebutkan nama golongan tertentu, namun ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Penjelasan ulama itulah yang sering disalahpahami sebagai bagian dari matan hadits.
Kaum Hanabilah termasuk yang pertama menggunakan istilah Ahl al-Sunnah, tapi tanpa menyebutkan istilah jama’ah. Mereka menamakan golongannya sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Hadits. Sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah bagi kaum Hanabilah muncul dari Khalifah al-Qādir melalui sebuah manifesto “al-I’tiqād al-Qādiriyyah” yang disebarkan pada tahun 433 H/1041 M.
Istilah “Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah” juga digunakan oleh al-Thahawi. Tokoh Sunni Mesir yang jarang sekali dikaitkan dengan paham resmi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah ini, menuangkan pikirannya dalam sebuah risalah teologi yang berjudul “Bayān al-Sunnah wa al-Jamā’ah”.  Ia hidup hampir semasa dengan al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Harun Nasution mempunyai asumsi kuat bahwa istilah itu baru dipakai sesudah timbulnya paham Asy’ariyyah dan Mātūrīdiyyah, dua aliran yang menurut versi tertentu menjadi wakil resmi dari akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Asy’ari dan Maturidi bahkan digelari sebagai “Syaikhā Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah” (dua tokoh utama Sunni). Tidak diketahui lebih jelas, kapan dan mengapa istilah itu menjadi populer dan diasosiasikan pada paham al-Asy’ari dan al-Maturidi.
 Istilah yang lebih populer digunakan, sebagaimana juga digunakan oleh al-Ghazālī,[4] adalah “Ahl al-Sunnah”. Sedangkan istilah “Sunnī” diperkenalkan pada masa yang lebih belakangan oleh al-‘Ījī (w. 1355 M). Selain al-‘Ījī, sesungguhnya Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350) juga telah mempergunakan istilah “Sunnī” (al-sunniyy), sebagaimana terekam dalam kitab “Syifā’ al-`Alīl”.[5]
Terlepas dari masalah asal-usul kelembagaan nama Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang sulit dipecahkan karena simpang-siur berbagai versi tentang masalah itu, Fazlur Rahman mempunyai isyarat penjelasan yang menarik tentang akar tradisi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Menurut Rahman, cikal-bakal paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah telah tumbuh dalam lingkungan para pengembang paham moderat dalam Islam, yang dibangun secara melembaga oleh kaum Murji’ah.
Pandangan moderat ini menjadi representasi pandangan mayoritas umat Islam (jamā’ah) yang cenderung tidak ambil sikap secara aktif dalam perselisihan-perselisihan politik, dan tidak menghakimi secara teologis. Pandangan yang bercorak murji’i (tidak sepenuhnya berarti mazhab Murji’ah) juga menjadi representasi resmi dari bentuk kesalehan salaf, yang lebih memilih sikap menahan diri dari segala bentuk pertikaian internal umat Islam, dan lebih memusatkan perhatian pada upaya-upaya pengembangan ilmu. Karena faktor inilah, lingkungan yang terbangun oleh cara-pandang yang murji’ī menjadi wadah paling kondusif bagi pertumbuhan kelas `ulama’ dalam struktur sosial masyarakat muslim yang memberi sumbangan besar bagi pembentukan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah pada masa ‘Abbasiyyah.
Watak Murji’ah yang a politis menjadi pilihan logis bagi penguasa Banu Umayyah untuk dirangkul sebagai mazhab resmi, di tengah kepungan dua rival politiknya: Khawārij dan Syī’ah. Meskipun Murji’ah sendiri tidak berusaha melakukan sistematisasi paham keagamaan, namun ia telah dijadikan pemerintah sebagai sandaran legalitas politik keagamaannya. Pada tahap inilah, semangat moderat tersebut berkembang secara gradual menjadi cikal bakal paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. 
Hal tersebut terkait dengan kebijakan sosial-politik keagamaan Banu Umayyah untuk melaksanakan dua proyek besar untuk menyatukan umat Islam di bawah kekuasaan politiknya dan menghapus friksi-friksi politik di dalam satu paham keagamaan. Proyek pertama adalah penulisan sunnah-sunnah Nabi SAW, segera mendorong pembakuan Sunnah dalam bentuk riwayat-riwayat verbal (hadits) yang terdokumentasikan. Proyek kedua, pelembagaan konsep syarī’ah menjadi tatanan hukum formal, yang diperkuat dengan melembagakan prinsip kesepakatan bersama umat Islam (ijmā’ jamā’ah).
Pelembagaan terhadap dua konsep fundamental dalam ajaran Islam inilah yang menjadi komponen inti dalam doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, yang pada gilirannya menjadi prinsip dasar yang disepakati oleh mayoritas umat sebagai doktrin-resmi (ortodoksi) agama Islam.
D. Konsep Sunnah
Sunnah disepakati sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an. Oleh sebab itu, terbentuk suatu cara pandang yang mengharuskan adanya Sunnah untuk membenarkan suatu pendapat. Pada celah inilah, muncul hadits-hadits palsu akibat ulah orang-orang yang berlaku serampangan terhadap agama, agar pendapatnya didengar dan diakui orang lain. Keinginan memperkuat pendapat dengan dukungan sunnah juga menghinggapi elit-elit politik, sehingga menjadi Sunnah dalam posisi yang terjepit di antara banyak kepentingan.
Atas perkembangan itulah muncul ulama yang mengerahkan segala upayanya untuk melakukan proteksi terhadap sunnah, yang ditandai dengan munculnya gerakan ahl al-Sunnah, dengan al-Haasan al-Bashri sebagai figur tradisionalnya. Gerakan Ahl al-Sunnah itu berkembang menjadi lebih sistematis pada peralihan abad pertama menuju abad kedua Hijriyah. Hal ini ditandai dengan munculnya sistem isnad (transmisi berantai) sebagai salah satu komponen inti dalam meriwayatkan Sunnah Nabi SAW. Sistem itu juga yang memicu pertumbuhan kegiatan verbalisasi Sunnah secara massif menjadi riwayat-riwayat hadits.
Namun hingga tahap perkembangan itu, `ulamā’ belum sepakat dalam menerima hadits sebagai representasi sunnah. Madzhab Mālikī, umpamanya, bersikukuh pada pandangan bahwa sunnah nabawiyah yang dapat dijadikan sumber hukum hanyalah sunnah yang hidup dalam praktek masyarakat Madinah (‘amal ahl al-Madīnah). Sementara madzhab Hanafī bersandar pada praktek umum generasi Sahabah dan Tābi’īn. Bagi kedua madzhab ini, riwayat yang disandarkan kepada Nabi (hadits) tidak cukup meyakinkan untuk disebut sebagai sunnah, karena besarnya kemungkinan untuk terjadinya pemalsuan.
Meskipun demikian, ketertarikan pada riwayat hadits sebagai transmisi verbal yang terdokumentasikan dari Sunnah semakin besar, termasuk yang tergambar dari proyek pembukuan hadits yang dicanangkan pemerintah Banu Umayyah. Ibn Syihab al-Zuhri adalah ulama hadits pertama yang didatangi oleh pemerintah untuk melakukan membukukan hadits agar dapat dijadikan standar Sunnah bagi seluruh umat Islam. ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz adalah khalifah yang paling intens menyerukan tersebut, namun proyek itu tidak terlasana karena panolakan ulama.
Penolakan yang paling fenomenal adalah penolakan Imam Malik terhadap permintaan dua Khalifah ‘Abbasiyyah, al-Manshur dan Harun al-Rasyid. Harun al-Rasyīd bahkan meminta agar al-Muwaththa’ digantungkan di Ka’bah, agar dapat menjadi kiblat seluruh umat Islam berkenaan dengan Sunnah Nabawiyyah. Menurut Ahmad Amin, tujuan dari permintaan itu tidak hanya untuk menjadikan kitab Imam Malik itu sebagai standar baku bagi otoritas Sunnah; tapi juga untuk kepentingan politik menjadikannya sebagai asas tunggal bagi undang-undang hukum Islam.
Dasar penolakan Imam Mālik adalah bahwa Sunnah mencakup tradisi yang hidup di dalam masyarakat, yang merupakan hasil interpretasi praktis dari murid-murid Nabi (Sahabat) atas Sunnah Nabi SAW. Karenanya, pengadaan naskah hadits secara baku dapat menjadi ancaman bagi tradisi keislaman yang bersifat praktis, dan harus tunduk pada satu corak interpretasi versi pemerintah.
Sunnah dalam konsepsi itulah yang diakui sebagai sumber ketetapan hukum yang qath’i, di samping al-Qur’an. Inilah yang menjadi pandangan umum kaum Sunni yang awal tentang sumber hukum Islam yang kedua. Menurut mereka dasar hukum yang sah adalah Sunnah Nabi yang hidup secara aktual dalam praktek ideal masyarakat muslim. Mereka ini tidak menolak hadits (laporan verbal tentang Sunnah), tapi mereka berpandangan bahwa Sunnah Nabi yang otentik yang telah menjadi praktek hidup penduduk Madinah (‘Amal Ahl al-Madīnah) sebagai pewaris tradisi Nabi SAW.
Sementara kalangan Hanafi berpandangan bahwa rujukan yang sah bagi Sunnah adalah praktek umum generasi Sahabat dan Tabiin yang menjadi norma sosial pada masyarakat muslim setempat. Karenanya, mazhab Haanafī hanya dapat menerima hadits-hadits yang diriwayatkan secara kolektif, yaitu melalui sejumlah jalur rāwī yang mencapai tingkat masyhūr atau mutawātir di setiap thabaqatnya. Sementara sumber-sumber perorangan (hadits ahad) tak dapat dijadikan rujukan yang meyakinkan untuk menduduki posisi Sunnah Nabi sebagai sumber hukum.
Hingga tahap perkembangan ini, Sunnah dan hadits sangat dibedakan dalam praktek hukum, karena hadits tidak dipandang dapat mewakili otoritas Sunnah sebagai sumber hukum (hujjah). Maka hadits tidak mempunyai fungsi yang lebih dari sebagai catatan informal yang tidak berkekuatan hukum.
Perkembangan konsepsi itulah yang menjadi salah satu sumber kekhawatiran Syafi’ī, sehingga mendorongnya untuk merumuskan suatu formula keilmuan untuk diakuinya hadits sebagai representasi Sunnah Nabi SAW. Kekhawatiran Syafi’i adalah bahwa jika konsep Maliki dan Hanafi dipertahankan, maka generasi muslim selanjutnya akan kehilangan akses terhadap Sunnah, baik karena perubahan sosial yang berlaku secara niscaya, maupun karena semakin jauhnya jarak waktu dengan generasi Sahabat dan Tabi’in. Dengan demikian, konsep Sunnah yang mengacu pada praktek hidup masyarakat atau generasi tertentu, tidak dapat diandalkan untuk menjamin kelestarian Sunnah yang otentik.
Oleh karena itu, Syafi’i menyerukan diterimanya hadits sebagai media yang sah dan satu-satunya untuk merujuk Sunnah Nabi SAW, dengan mensyaratkan adanya transmisi yang bersambung hingga (marfū’) ke Nabi SAW. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan identitas yang bersifat tetap dan definitif bagi Sunnah, sehingga dapat diverifikasi secara pasti yang akan menutup celah bagi munculnya klaim-klaim periwayatan secara palsu. Sejak itu pula, upaya formalisasi keilmuan hadits sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri dilakukan, diikuti dengan perumusan sistem kritik hadits yang lebih ketat.
Selanjutnya muncul upaya proteksi hadits secara lebih massif oleh golongan Ahl al-Hadits, di bawah pimpinan Ahmad ibn Hanbal yang berlanjut dengan lahirlah enam kitab hadits yang diakui memiliki kriteria seleksi hadits paling ketat, yang dikenal dengan sebutan “Al-Kutub al-Sittah”. Dengan perkembangan ini, Sunnah dibakukan oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bentuk hadits. Maka ditetapkanlah hadits sebagai sumber resmi kedua setelah al-Qur’an, mewakili otoritas Sunnah.
E.   Konsep Jamā’ah
“Jamā’ah” adalah prinsip yang dikembangkan untuk mendampingi prinsip Sunnah dalam kerangka konseptual Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.  Dua prinsip ini menjadi landasan legitimatif bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah pada dua level: Sunnah pada level keagamaan (ilāhī); dan Jamā’ah pada level sosial-kemasyarakatan. Konsep jamā’ah juga dikembangkan oleh kaum `ulamā’ dalam kerangka pemikiran hukum Islam, yang diwujudkan dalam prinsip ijmā’. Namun dalam pengertian luas, istilah jamā’ah telah muncul sejak awal, sebagai konsep normatif tentang cita-cita kolektivitas umat Islam. Maka prinsip jamā’ah sesungguhnya diarahkan untuk menjadi perekat sosial, demi terwujudnya masyarakat muslim yang menyatu dalam satu tatanan: “ummah”.
Konteks sejarah masa lalu dapat memperlihatkan bahwa prinsip itu menjadi sangat penting sejak terjadinya perpecahan dalam tubuh Islam, yang telah menggejala sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Atas dasar kepentingan terhadap integritas sosial umat Islam, muncullah upaya-upaya konseptualisasi “jamā’ah” menjadi prinsip teologis dan ideologis-politis. Kenyataan sejarah memperlihatkan bahwa kaum `ulamā’ dan elit penguasa (ulū al-amr) merupakan dua pihak yang paling berkepentingan untuk mengangkat prinsip jamā’ah menjadi sumber dan landasan normatif dalam Islam, hingga akhirnya lahir ortodoksi Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
Landasan normatif bagi prinsip jamā’ah terdapat di sejumlah riwayat hadits. Namun  yang  dikembangkan dalam kerangka Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, kurang lebih dapat digambarkan dari hadits berikut:
Haaddatsana Abu Raja’ al-Utaridi berkata, aku mendengar Ibn ‘Abbas ra. dari Nabi SAW bersabda: “Barang siapa melihat sesuatu yang tidak disenangi dari pemimpinnya, maka hendaklah bersabar; karena barang siapa memisahkan diri dari al-jamā’ah satu jengkal saja lalu mati, maka ia mati dengan kematian jahiliyyah.” (HR. al-Bukhārī).
Ajaran yang terkandung dalam hadits ini terekspresikan dengan sangat baik pada kecenderungan umum umat Islam pada masa-masa awal pasca Tahkīm, yang terwakili dalam pandangan teologi-politik Murji’ah. Pandangan yang tipikal Sunni ini sesungguhnya telah tumbuh sejak masa-masa yang lebih awal, dan menjadi paham mayoritas umat Islam. Justru karena visi jamā’ī inilah, umat Islam berhasil mempertahankan kesatuan sosialnya, meski telah banyak mengalami goncangan politik, mulai dari perebutan khilāfah antara golongan Muhajirin dan Anshar; perselisihan antara Banu Umayyah (faksi ‘Utsman dan Mu’awiyah) dan Banu Hasyim (faksi ‘Ali); pemberontakan Khawārij terhadap pemerintah Umawiyyah; perebutan kekuasaan antara Banū ‘Abbās dari Banu Umayyah; dan pertentangan-pertentangan lain yang melibatkan sentimen-sentimen kesukuan dan kebangsaan yang cenderung mengarah pada perpecahan sosial.
Demi mengatasi persoalan tersebut, dibangunlah prinsip yang dapat membangkitkan kesadaran kolektif yang bersifat universal. Maka dikembangkanlah prinsip jamā’ah sebagai doktrin politik yang dibingkai dalam kerangka teologis. Prinsip ini mengajarkan, sebagaimana dinyatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa “fanatisme dan perang sesama muslim adalah haram; dan bahwa penguasa negara, meskipun tidak becus dan bahkan melakukan kezaliman nyata, harus tetap dipatuhi.” Prinsip ini akhirnya menanamkan kesadaran bahwa tidak ada alasan apa pun untuk tidak patuh kepada penguasa. Abu al-Hasan al-Mawardi bahkan berkesimpulan bahwa taa’t kepada penguasa (ulū al-amr) adalah kewajiban syar’ī, yang hanya membenarkan untuk tidak mengikuti perintah-perintahnya yang tidak benar, tapi tidak membenarkan aksi pemberontakan terhadap kekuasaannya.
Selanjutnya, prinsip ini diperhalus menjadi kesepakatan untuk melawan kekacauan dan ketidaktertiban (anarkisme sosial-politik). Maka lahirlah prinsip yang menyatakan bahwa pemerintahan yang zalim adalah lebih baik daripada tidak ada pemerintahan sama sekali. Karenanya, menurut al-Māwardī, regulasi pemerintahan adalah wajib, demi agama (harasat al-dīn) dan politik (siyasat al-dunya).
Prakteknya, pemerintahan Umawiyyah telah menjalankan prinsip jamā’ah itu sebagai alat stabilisasi sosial dan politik, terutama dalam rangka menghadapi gerakan-gerakan oposisi, yang tak jarang dijadikan sebagai alat veto terhadap gerakan yang diserang sebagai gerakan pembangkangan terhadap konsensus sosial (fāraqa al-jamā’ah).[6]
Prinsip jama’ah itu selanjutnya dibakukan menjadi konsep ijma’, yang dijadikan sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits. Dari upaya-upaya konseptualisasi itulah, Syafi’i berhasil meletakkan pondasi bagi keilmuan ushul al-fiqh melalui kitab Al-Risalah, dengan membakukan empat sumber hukum Islam, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah/Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
f.    Konsolidasi Madzhab
Perkembangan tersebut memberi pengaruh positif bagi kebangkitan kaum ulama dengan dikukuhkannya madzhab-madzhab fiqh Sunni merujuk pada otoritas empat imam, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal. Perkembangan itu juga efektif memupus praktek-praktek ijtihad bebas sekaligus mempersempit celah , termasuk magi ambisi penguasa untuk melakukan standardisasi dan sentralisasi hukum Islam melalui jabatan Qadhi al-Qudhat. Sikap Syafi’i menjadi contoh ideal posisi `ulamā’ di hadapan pemerintah, untuk tidak terlibat dalam hubungan yang terlalu dekat dengan pemerintah. Terkait dengan ini, al-Syāfi’ī pernah menolak untuk menduduki jabatan qadhi al-qudhat yang ditawarkan oleh al-Ma’mūn pada awal kekuasaannya, yang berujung pada pengasingannya ke Mesir.
Namun hingga tahap perkembangan tersebut, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah belum menjelma menjadi satu sistem madzhab. Pemikiran Islam masa itu masih terkotak-kotak dalam madzhab-madzhab kecil yang jumlahnya nyaris tak terbilang. Pada umumnya, madzhab pemikiran masa itu dapat berdiri dengan hanya mengacu pada satu kelompok pengajian yang terdiri dari satu guru dan sejumlah murid. Meskipun terdapat madzhab-madzhab besar, yang oleh al-Asy’arī disebut sebagai “ummahat al-firaq”,[7] namun fakta politik masa itu menyulitkan bagi terbentuknya satu madzhab yang mendominasi sebagai mayoritas tunggal. Hal ini terkait dengan perpecahan politik yang telah melahirkan dinasti-dinasti kecil yang jumlahnya juga nyaris tak terbilang. Masing-masing dinasti pada umumnya mempunyai madzhab tersendiri.
Fakta umum yang terjadi di lingkungan Sunni adalah peneguhan kekuatan politik atas dasar afiliasinya kepada madzhab fiqh. Dengan kata lain, kekuatan politik Sunni masa itu terpusat pada madzhab-madzhab fiqh, dan bukan pada madzhab kalam (teologi).
Momen kekuasaan madzhab Sunni pertama kali diraih oleh golongan Hanabilah yang keberhasilannya menggugurkan program mihnah, sekaligus meruntuhkan pengaruh Mu’tazilah dalam pemerintahan Abbasiyah pada masa Al-Mutawakkil. Golongan Hanabilah yang memperkenalkan diri dengan nama Ahl al-Sunnah wa al-Hadits menolak masuknya segala bentuk rasionalisme asing ke dalam Islam, termasuk segala bentuk pemikiran kalam dalam Islam.
Perkembangan Sunni selanjutnya beralih ke kaum Hanafi dimulai sejak kekuasaan Banu Buwaih yang meskipun merupakan penganut Syi’ah, namun dalam fiqh banyak menganut madzhab Hanafi. Kedudukan Hanafi semakin kuat setelah berkoalisi dengan kalam Maturidi pada awal pemerintah Banu Saljuk atas pengaruh dari wazir Saljūq yang bermazhab Haanafiyyah-Mātūrīdiyyah, yaitu al-Kundūrī.
Namun perkembangan yang memberi identitas tetap bagi madzhab Sunni adalah ketika paham Asy’ariyyah yang berafiliasi pada paham fiqh Syāfi’i berhasil menjadi paham resmi sejak Nizham al-Mulk menggantikan jabatan al-Kunduri. Kisah peralihan kekuasaan itu sendiri mengungkap realitas lain dari perkembangan Sunni dalam proses formulasinya, bahwa perbedaan antar madzhab dalam tubuh Sunni sudah sangat tajam. Konfrontasi yang paling tajam terjadi antara Syafi’iyyah-Asy’ariyyah di satu pihak; dan Hanafiyyah-Maturidiyah di lain pihak.
Dikisahkan bahwa pada masa kekuasan al-Kunduri, muncul larangan terhadap paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah. Sejumlah tokoh Syafi’iyyah-Asy’ariyyah bahkan pernah dipenjara dan disiksa karena perbedaan madzhab tersebut, seperti: al-Bayhaqī (w. 1066), al-Qusyayrī (w. 1072), dan al-Juwaynī (w. 1085).
Keadaan itu berbalik ketika Nizham al-Mulk berhasil menggulingkan al-Kunduri melalui perang sipil yang melibatkan kaum dari dua madzhab Sunni tersebut. Sejak itulah paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah diteguhkan dalam proses indoktrinasi secara besar-besaran, melalui Madrasah Nizhamiyyah yang fokus pada pendidikan paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah. Direktur pertama dari lembaga pendidikan itu adalah al-Juwainī, dengan program utama memasyarakatkan paham Syāfi’iyyah-Asy’ariyyah dengan nama “al-‘Aqidah al-Nizhamiyyah.


G. Resolusi Sunni
Realitas perpecahan itu semakin rumit jika ditarik dalam lingkup yang lebih luas, mencakup aliran-aliran dalam tasawuf dan sikap terhadap filsafat. Hal itulah yang harus dihadapi oleh Al-Ghazali. Dalam otobiografinya, Al-Ghazali menyatakan:
Ketahuilah bahwa perselisihan makhluk dalam hal agama dan kepercayaan, yang berlanjut dengan perselisihan ulama dalam madzhab-madzhab hingga menciptakan kelompok umat yang sangat banyak, telah menciptakan lautan yang amat dalam yang menenggelamkan mayoritas umat. Hanya sedikit dari mereka yang selamat, hanya saja setiap kelompok merasa dirinyalah yang selamat.
Hasil studinya atas empat kelompok besar dalam pemikiran Islam: Kalam, Bathiniyah, Filsafat, dan Tasawuf, membawanya pada kesimpulan bahwa masing-masing kelompok itu adalah jalan menuju kebenaran yang berbeda-beda, yang benar menurut porsinya masing-masing. Kebenaran yang utuh hanya dapat diperoleh jika empat cara pandang itu diletakkan dalam porsinya.
Berdasarkan hal tersebut, Ghazali merumuskan tiga tingkatan nalar berdasarkan porsinya masing-masing, yaitu:
1.      Nalar syar’i (al-‘aqliyyah al-syar’iyyah), yang digunakan untuk memaparkan sesederhana mungkin hukum-hukum fiqh dan usūlnya.
2.      Nalar falsafi (al-‘aqliyyah al-falsafiyyah), yang digunakan untuk memberi kerangka rasional bagi ajaran-ajaran nash .
3.      Nalar sufistik (al-‘aqliyyah al-shufiyyah), yang digunakan untuk mengungkap rahasia-rahasia agama, demi pencapaian pengetahuan yang hakiki (ma’rifah).
Inilah formula yang ditetapkan Ghazali dalam rangka memberikan jalan tengah yang damai antar berbagai corak keilmuan dan aliran pemikiran menjadi satu sistem madzhab yang utuh, yang lengkap dengan perangkat fiqh, kalam dan tasawufnya. Cara moderat itulah yang mengubah perselisihan madzhab-madzhab dalam satu pandangan bersama di bawah panji Ahl al-Sunnah. Demikianlah Ghazali memasukkan pesan-pesan sufistik dalam pembahasan-pembahasan kalamnya, memberikan bentuk syar’i bagi tasawwuf yang sebelumnya hanya berkutat pada masalah haqiqah (esoterik); memberi kerangka rasional filosofis bagi doktrin-doktrin hukum fiqh; memberi acuan teologis (doktrin kalām) bagi filsafat; dan akhirnya memberi ransangan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat doktriner yang hanya akan memperluas populasi muslim awam yang jauh dari ilmu.
Inilah wajah sesungguhnya dari ortodoksi Islam yang dibangun oleh al-Ghazālī, meminjam pola-pola yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh al-Syāfi’ī dan al-Asy’arī, hingga membentuk diri menjadi resolusi resmi dari paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
Praktis, hanya paham-paham yang secara tegas dan aktif memisah diri dari mainstream perkembangan pemikiran Islam (fāraqa al-jamā’ah) yang tidak terakomodir dalam formula madzhab Ghazali. Dalam hal ini, kaum Syī’ah menjadi kelompok terbesar yang memisah diri secara ideologis, meskipun al-Ghazālī sendiri telah mengakomodir pandangan ta’limiyyah bathiniyyah yang dikembangkan oleh Syī’ah Isma’iliyyah. Sementara mayoritas terbesar dari umat Islam telah melebur dalam jama’ah al-sawad al-a’zham, sebagaimana dikehendaki oleh Sunnah Nabi SAW.
H.   Perkembangan dan Respons
Sepeninggal al-Ghazālī, diiringi dengan keruntuhan Banu Saljuq dan melemahnya ‘Abbasiyyah, perkembangan pemikiran Islam di wilayah ‘Abbāsiyyah seakan mengalami anti-klimaks. Tasawwuf yang diagungkan al-Ghazālī sebagai puncak pencapaian pengetahuan, dan menjadi media utama dalam menjembatani (moderasi) berbagai corak pemikiran dalam Islam, justru berkembang ke arah yang ekstrem menjadi tarekat-tarekat yang tumbuh subur terutama di lingkungan bangsa Turki, penduduk Yaman, dan Afrika. Perkembangan ini mengubah wajah tasawwuf dari bentuknya yang semula sebagai ekspresi kualitas kedalaman pengetahuan individual dalam beragama; menjadi tempat pelatihan spiritual secara massal, formal, dan terstruktur. Tasawwuf yang pada mulanya menjadi media seseorang berhubungan langsung dengan Allah, lewat mahabbah dan ma’rifah, berubah menjadi lembaga kultus terhadap individu guru tarekat. Suatu bentuk perkembangan yang tak dibenarkan dalam ortodoksi Sunni yang awal, yang menjadi alasan kaum Hanābilah untuk melarang sama sekali segala bentuk praktek tasawwuf.
Bentuk lain dari perkembangan tasawwuf adalah munculnya tokoh-tokoh teosofi, yang berupaya mengekspresikan pengalaman-pengalaman subjektif tasawwuf ke dalam paparan-paparan filosofik. Sesuatu yang sejak semula telah mendapat reaksi keras dari tasawwuf ortodoks, pimpinan al-Junayd al-Baghdādī. Inilah yang dimunculkan kembali oleh Ibn ‘Arabī, dengan menebarkan paham wahdat al-wujūd yang menjadi ancaman ganda terhadap paham tasawwuf Sunni dan sistem teologinya tentang tawhīd, sebagaimana diteguhkan al-Ghazālī.
Semetara filsafat seakan mengalami trauma sejak serangan kritis al-Ghazālī atas sejumlah kasus pemikirannya yang inkonsisten. Filsafat nyaris tak pernah muncul dalam tradisi Sunni, kecuali Ibn Rusyd yang hidup di luar wilayah ‘Abbāsiyyah. Hal ini seakan menegaskan kenyataan awal bahwa filsafat memang tidak cocok dengan budaya dan tradisi berpikir kaum `ulamā’. Sehingga Tahāfut al-Falāsifah seakan hanya dijadikan alibi bagi keengganan kaum Sunni untuk mengembangkan filsafat. Karena pada kenyataannya, filsafat tetap hidup dalam tradisi Syī’ah (dan teosofi), meskipun tidak sebesar capaian yang dihasilkan oleh dua pendahulu mereka: Ibn Sīnā dan al-Fārābī.
Perkembangan yang sama sekali baru dalam tradisi Sunni pasca al-Ghazāli adalah munculnya reaksi internal dari kaum Hanābilah, melalui Ibn Taymiyah (w. 728/1328). Ibn Taymiyyah ingin meneguhkan kembali paham Ahl al-Hadits yang dibangun oleh Ibn Hanbal atas nama Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Untuk itu, ia menulis sebuah risalah yang diberi judul “al-Aqidah al-Wasithiyyah” yang menyatakan klaim resmi atas akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Paham itu secara terang-terangan membongkar klaim Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang disandang kubu al-Ghazālī, dan sama sekali tidak memberi toleransi kepada gerakan tasawwuf dan kalām.
Pada era modern, paham ini dikembangkan lebih jauh oleh gerakan Wahabi dengan nama Sunni Salaf (madzhab al-Salaf). Nisbat kepada Salaf ini seakan ingin mempertegas bahwa ortodoksi Sunni yang dibangun oleh al-Ghazālī, melalui prinsip-prinsip Syāfi’iyyah dan Asy’ariyyah, bukanlah wakil resmi dari paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Dengan kata lain Sunni versi al-Ghazālī atau yang dapat juga disebut Sunni-Khalaf, adalah gerakan sempalan (bid’ah) dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah versi Hanabilah.
Terlepas dari berbagai perkembangan tersebut, watak moderat menjadi warisan sangat berharga dari tradisi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang dibangun dalam sejarah panjang ulama menghadapi berbagai situasi perkembangan umat Islam. Watak itulah yang perlu dijaga untuk memelihara agar tidak terjebak dalam kutub-kutub ekstrem tertentu; juga tanpa mengabaikan potensi-potensi perbedaan yang niscaya terjadi.





[1]Kata madzhab berarti: al-mu’taqad (pegangan), al-thariqah (cara), al-ashl (dasar). Adapun kata kerjanya (dzahaba), berarti: memandang suatu permasalahan dengan cara-pandang tertentu (ra’a fi al-ma’alati dzlika al-ra’y). Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: al-Maktabah al-Katsulikiyyah, 1956; Ibn Manzhur al-Ruwaifa’I, Lisan al-‘Arab, jilid 1, Beirut: Dar Shadir, 1414
[2] Bagi Ahl al-Hadits, rujukan dalam masalah kalam adalah Ahmad ibn Hanbal. Namun nama ini tidak disebutkan sebagai tokoh rujukan dalam kalam, karena Ahmad ibn Hanbal sendiri merupakan tokoh utama yang menolak adanya disiplin ilmu kalam dalam Islam. Ahmad ibn Taimiyah dan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhāb, Majmu’at al-Tauhid (26 risālah), Beirut: Dār al-Fikr, t.t.; Muhammad Shalih al-‘Utsaimin, Syarh al-Aqidah al-Wāsithiyyah li Ibn Taimiyah, Riyad dan Jeddah: Dār Ibn al-Jawzī, 1416 H, cet. ke-3
[3] Lihat: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Cambridge: The university Press, 1988
[4] Lihat: Ghazali, Abu Hamid al-, Ihya’ Ulum al-Din, t.t.
[5] Jawziyyah, Ibn al-Qayyim al-, Syifā’ al-‘Alīl, 1988
[6] Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 1974
[7]Abū al-Hasan al-Asy’arī, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mushallīn, 1954

Tidak ada komentar:

Posting Komentar