AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH
A. Pendahuluan
Madzhab, menurut makna kebahasaannya, dapat
diartikan sebagai cara memandang sesuatu mengikuti prinsip-prinsip dasar yang
dijadikan acuan pegangan.[1] Sejatinya,
madzhab adalah pemikiran yang menawarkan cara-pandang paradigmatis
tentang bagaimana memahami ajaran Islam dan bagaimana merumuskannya. Dalam konteks pemikiran, mazhab
muncul sebagai alternatif yang terbuka dan tidak mengikat, bersifat intelektual murni, dan bebas dari kepentingan-kepentingan sosial dan politik.
Namun dalam konteksnya yang historis, sebuah mazhab
pemikiran hampir tidak mungkin tumbuh dan berkembang tanpa pengaruh-pengaruh
lingkungan sejarahnya. Karena
produk pemikiran pada dasarnya adalah hasil interaksi dialogis antara pemikiran
dan realitas-realitas yang dihadapinya. Dunia pemikiran mutlak mempertimbangkan
hal tersebut sebagai
variabel yang dapat memberi jaminan bagi diterimanya suatu produk pemikiran,
sekaligus juga sebagai landasan kontekstual bagi historisitas suatu pemikiran.
Maka tidak salah jika dinyatakan bahwa produk-produk pemikiran dalam Islam
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan politik yang berkembang pada
saat produksi pemikiran itu terjadi. Malah lebih jauh dapat dikatakan bahwa
kelahiran pemikiran-pemikiran Islam itu memang didorong oleh dinamika kehidupan
sosial dan politik Islam masanya, di samping karena dorongan utama dari
intelektualisme keagamaan.
Oleh
karena itu, suatu madzhab menjadi menarik untuk dikaji sebagai layar proyeksi
untuk mendapatkan gambaran tentang ekspresi-ekspresi sosial, politik dan
pemikiran yang terjadi pada masa pembentukannya hingga suatu wacana pemikiran
hingga diterima menjadi formula ajaran yang baku.
Mazhab
Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah atau sering disingkat dengan sebutan Sunni, yang
hingga perkembangan terkini menjadi mazhab yang paling populer dan paling
banyak penganutnya di dunia Islam, dapat menjadi contoh kasus yang ideal dari
proses formulasi mazhab pemikiran. Ia tidak hanya dapat bertahan dari serangan
kritik-kritik pemikiran, tapi juga terbukti mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan sosial-politik yang terus berlangsung selama berabad-abad,
di wilayah-wilayah budaya yang beraneka ragam.
Sejarah
panjang pembentukan mazhab Sunni itu menjadi semakin kompleks, mengingat bahwa
ada banyak sekali disiplin pemikiran keislaman yang terlibat dalam proses
konsolidasi paham mazhab hingga melingkupi hampir seluruh disiplin keilmuan
Islam, untuk melengkapi struktur-bangun ajaran Islam Sunni. Secara garis besar,
dapat disebutkan sebagai representasi utama keilmuan Sunni yaitu: ‘Ulum
al-Qur’an, ‘Ulum al-Hadits, Fiqh, Ushul al-Fiqh, Kalam, dan Tashawwuf.
Setiap
disiplin keilmuan inipun membentuk mazhab-mazhab disipliner internal mazhab
Sunni. Sehingga dapat dimengerti jika di dalam tubuh mazhab Sunni sendiri terdapat
sub-sub mazhab, yang kesemuanya menjadi kesatuan utuh yang melengkapi mazhab
Sunni sebagai sebuah cara pandang paradigmatis yang variatif dan multi
disipliner. Hal ini sekaligus juga menjelaskan bahwa meskipun mazhab Sunni
telah dipandang baku sejak kemunculan al-Ghazali, namun tidak pernah ada
ketetapan resmi tentang adanya rujukan tunggal dalam bermazhab Sunni. Dengan
kata lain, selalu ada lebih dari rujukan yang diakui (mu’tabarāt).
Bidang fiqh mengenal empat madzhab (al-madzahib al-arba’ah). Bidang
hadits mengakui adanya enam kitab yang mu’tabar (al-Kutub al-Sittah).
Bidang Kalam, terdapat tokoh-tokoh mu’tabar seperti Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abu
Manshur al-Maturidi.[2] Bidang-bidang lain dalam kerangka Sunni pun
mempunyai sejumlah rujukan yang tidak tunggal. Ini sekadar menunjukkan bahwa
sesungguhnya mazhab Sunni tidak pernah baku dalam satu identitas formulatif
yang tetap.
Kompleksitas
mazhab Sunni ditambah lagi dengan kenyataan bahwa ada faktor-faktor lain di
luar pemikiran intelektual murni yang ikut mempengaruhi proyek-proyek
pembangunan mazhab Sunni, yaitu fakta-fakta historis kehidupan umat Islam di
era formasi mazhab-mazhab Islam (the formative era), mulai dari fakta
sosial, budaya, ekonomi, politik, ideologi, dan dinamika pemikiran itu sendiri.
Sejarah kebesaran mazhab Sunni bahkan merupakan andil besar dari sokongan dari
pranata-pranata dan politik terutama sejak masa pemerintahan al-Mutawakkil
hingga masa Nizam al-Mulk.
Pengungkapan
seluruh kompleksitas yang menaungi dan mengiringi kelahiran dan pertumbuhan
mazhab Sunni itu, menjadi penting untuk menangkap spirit dan aspirasi vital
dari paradigma ke-Sunni-an yang sesungguhnya. Hanya dengan cara ini konstruk
paham Sunni dapat ditampilkan kembali ke alam sejarah masa kini secara aktif.
Dengan demikiran, upaya revitalisasi (penghidupan kembali) dapat dilakukan
sesuai dengan gambaran semangat hidupnya (vitalitas) yang awal, pada masa
pertumbuhan dan perkembangannya.
B. Pembacaan
Ulang Terhadap Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Sejarah
formulasi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah era ketika pemikiran
menjadi bagian dari ekspresi-ekspresi sosial dan politik, yang secara definitif
berlangsung pada masa ‘Abbasiyyah; dan karenanya ia juga menjadi bagian dari
konflik-konflik sosial dan politik umat Islam pada masanya. Kenyataan inilah
yang menjadi ciri kosmopolitanisme pemikiran Islam, karena aspek-aspeknya yang
sedemikian lengkap, meliputi pemikiran keagamaan murni dan segala pemikiran
yang diperlukan bagi pembangunan peradaban sosial dan politik Islam, dengan
warna yang saling mempengaruhi. Hal ini juga sekaligus pernyataan Ira M. Lapidus, bahwa
pemikiran Islam tumbuh subur karena banyak disponsori oleh pemerintah politik pada masanya.[3]
Prinsip paling dasar madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, sesuai
dengan namanya, adalah Sunnah dan Jamā’ah. Dua prinsip
tersebut terlihat sederhana untuk dipahami, namun sesungguhnya merupakan
rangkuman dari seluruh proses wacana pemikiran, sosial dan politik yang
menyedor seluruh energi ulama, penggiat dan penyokong paham tersebut hingga
menjelma menjadi kekuatan paling dominan (ortodoksi) dalam sejarah Islam. Dalam
prosesnya, terjadi perdebatan sengit mengenai apa yang dimaksud dengan sunnah
dan jamaah, hingga pada batas bahwa hampir setiap pendapat membentuk madzhabnya
sendiri. Perdebatan-perdebatan ini terus berlangsung hingga munculnya kompromi
dari al-Ghazālī, dengan memasukkan berbagai disiplin pemikiran (kecuali
filsafat) sebagai komponen yang melengkapi formula resmi mazhab Ahl
al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
C. Asal-usul Konseptual
Istilah
Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah menjadi istilah yang sangat polemis dalam
wacana mazhab pemikiran Islam, karena secara historis istilah itu tidak muncul
pada awal-awal perkembangan mazhab dalam Islam hingga masa-masa pertengahan
khilāfah ‘Abbāsiyyah. Sementara penganut Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah
belakangan sering menyitir sebuah hadits yang menegaskan bahwa dari 73 golongan
umat hanya satu yang selamat. Hadits tersebut tidak menyebutkan nama golongan
tertentu, namun ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah golongan Ahl
al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Penjelasan ulama itulah yang sering disalahpahami
sebagai bagian dari matan hadits.
Kaum
Hanabilah termasuk yang pertama menggunakan istilah Ahl al-Sunnah, tapi
tanpa menyebutkan istilah jama’ah. Mereka menamakan golongannya sebagai Ahl
al-Sunnah wa al-Hadits. Sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah bagi
kaum Hanabilah muncul dari Khalifah al-Qādir melalui sebuah manifesto “al-I’tiqād
al-Qādiriyyah” yang disebarkan pada tahun 433 H/1041 M.
Istilah
“Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah” juga digunakan oleh al-Thahawi. Tokoh
Sunni Mesir yang jarang sekali dikaitkan dengan paham resmi Ahl al-Sunnah wa
al-Jamā’ah ini, menuangkan pikirannya dalam sebuah risalah teologi yang
berjudul “Bayān al-Sunnah wa al-Jamā’ah”. Ia hidup hampir semasa dengan al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Harun
Nasution mempunyai asumsi kuat bahwa istilah itu baru dipakai sesudah timbulnya
paham Asy’ariyyah dan Mātūrīdiyyah, dua aliran yang menurut versi tertentu
menjadi wakil resmi dari akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Asy’ari dan
Maturidi bahkan digelari sebagai “Syaikhā Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah” (dua
tokoh utama Sunni). Tidak diketahui lebih jelas, kapan dan mengapa istilah itu
menjadi populer dan diasosiasikan pada paham al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Istilah yang lebih populer digunakan,
sebagaimana juga digunakan oleh al-Ghazālī,[4] adalah “Ahl al-Sunnah”.
Sedangkan istilah “Sunnī” diperkenalkan pada masa yang lebih belakangan
oleh al-‘Ījī (w. 1355 M). Selain al-‘Ījī, sesungguhnya Ibn al-Qayyim
al-Jawziyyah (w. 751/1350) juga telah mempergunakan istilah “Sunnī” (al-sunniyy),
sebagaimana terekam dalam kitab “Syifā’ al-`Alīl”.[5]
Terlepas
dari masalah asal-usul kelembagaan nama Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang
sulit dipecahkan karena simpang-siur berbagai versi tentang masalah itu, Fazlur
Rahman mempunyai isyarat penjelasan yang menarik tentang akar tradisi Ahl
al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Menurut Rahman, cikal-bakal paham Ahl
al-Sunnah wa al-Jamā’ah telah tumbuh dalam lingkungan para pengembang paham
moderat dalam Islam, yang dibangun secara melembaga oleh kaum Murji’ah.
Pandangan moderat ini menjadi representasi
pandangan mayoritas umat Islam (jamā’ah) yang cenderung tidak ambil
sikap secara aktif dalam perselisihan-perselisihan politik, dan tidak
menghakimi secara teologis. Pandangan yang bercorak murji’i (tidak sepenuhnya berarti mazhab Murji’ah) juga
menjadi representasi resmi dari bentuk kesalehan salaf, yang lebih memilih
sikap menahan diri dari segala bentuk pertikaian internal umat Islam, dan lebih
memusatkan perhatian pada upaya-upaya pengembangan ilmu. Karena faktor inilah,
lingkungan yang terbangun oleh cara-pandang yang murji’ī menjadi wadah
paling kondusif bagi pertumbuhan kelas `ulama’ dalam struktur sosial masyarakat
muslim yang memberi
sumbangan besar bagi pembentukan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah pada
masa ‘Abbasiyyah.
Watak
Murji’ah yang a politis menjadi pilihan logis bagi penguasa Banu Umayyah
untuk dirangkul sebagai mazhab resmi, di tengah kepungan dua rival politiknya:
Khawārij dan Syī’ah. Meskipun Murji’ah sendiri tidak berusaha melakukan
sistematisasi paham keagamaan, namun ia telah dijadikan pemerintah sebagai
sandaran legalitas politik keagamaannya. Pada tahap inilah, semangat moderat
tersebut berkembang secara gradual menjadi cikal bakal paham Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah.
Hal
tersebut terkait dengan kebijakan sosial-politik keagamaan Banu Umayyah untuk
melaksanakan dua proyek besar untuk menyatukan umat Islam di bawah kekuasaan
politiknya dan menghapus friksi-friksi politik di dalam satu paham keagamaan.
Proyek pertama adalah penulisan sunnah-sunnah Nabi SAW, segera mendorong
pembakuan Sunnah dalam bentuk riwayat-riwayat verbal (hadits)
yang terdokumentasikan. Proyek kedua, pelembagaan konsep syarī’ah
menjadi tatanan hukum formal, yang diperkuat dengan melembagakan prinsip
kesepakatan bersama umat Islam (ijmā’ jamā’ah).
Pelembagaan terhadap dua konsep fundamental
dalam ajaran Islam inilah yang menjadi komponen inti dalam doktrin Ahl
al-Sunnah wa al-Jamā’ah, yang pada gilirannya menjadi prinsip dasar yang
disepakati oleh mayoritas umat sebagai doktrin-resmi (ortodoksi) agama Islam.
D. Konsep Sunnah
Sunnah
disepakati sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an. Oleh sebab itu,
terbentuk suatu cara pandang yang mengharuskan adanya Sunnah untuk membenarkan
suatu pendapat. Pada celah inilah, muncul hadits-hadits palsu akibat ulah
orang-orang yang berlaku serampangan terhadap agama, agar pendapatnya didengar
dan diakui orang lain. Keinginan memperkuat pendapat dengan dukungan sunnah
juga menghinggapi elit-elit politik, sehingga menjadi Sunnah dalam posisi yang
terjepit di antara banyak kepentingan.
Atas
perkembangan itulah muncul ulama yang mengerahkan segala upayanya untuk
melakukan proteksi terhadap sunnah, yang ditandai dengan munculnya gerakan ahl
al-Sunnah, dengan al-Haasan al-Bashri sebagai figur tradisionalnya. Gerakan
Ahl
al-Sunnah itu berkembang menjadi lebih sistematis pada peralihan abad pertama menuju abad kedua Hijriyah. Hal ini ditandai
dengan munculnya sistem isnad (transmisi berantai) sebagai salah satu
komponen inti dalam meriwayatkan Sunnah Nabi SAW. Sistem itu juga yang memicu
pertumbuhan kegiatan verbalisasi Sunnah secara massif menjadi riwayat-riwayat hadits.
Namun
hingga tahap perkembangan itu, `ulamā’ belum sepakat dalam menerima
hadits sebagai representasi sunnah. Madzhab Mālikī, umpamanya, bersikukuh pada
pandangan bahwa sunnah nabawiyah yang dapat dijadikan sumber hukum hanyalah
sunnah yang hidup dalam praktek masyarakat Madinah (‘amal ahl al-Madīnah).
Sementara madzhab Hanafī bersandar pada praktek umum generasi Sahabah
dan Tābi’īn. Bagi kedua madzhab ini, riwayat yang disandarkan kepada
Nabi (hadits) tidak cukup meyakinkan untuk disebut sebagai sunnah, karena
besarnya kemungkinan untuk terjadinya pemalsuan.
Meskipun
demikian, ketertarikan pada riwayat hadits sebagai transmisi verbal yang
terdokumentasikan dari Sunnah semakin besar, termasuk yang tergambar dari
proyek pembukuan hadits yang dicanangkan pemerintah Banu Umayyah. Ibn Syihab
al-Zuhri adalah ulama hadits pertama yang didatangi oleh pemerintah untuk melakukan
membukukan hadits agar dapat dijadikan standar Sunnah bagi seluruh umat Islam.
‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz adalah khalifah yang paling intens menyerukan tersebut,
namun proyek itu tidak terlasana karena panolakan ulama.
Penolakan
yang paling fenomenal adalah penolakan Imam Malik terhadap permintaan dua
Khalifah ‘Abbasiyyah, al-Manshur dan Harun al-Rasyid. Harun al-Rasyīd bahkan
meminta agar al-Muwaththa’ digantungkan di Ka’bah, agar dapat menjadi
kiblat seluruh umat Islam berkenaan dengan Sunnah Nabawiyyah. Menurut
Ahmad Amin, tujuan dari permintaan itu tidak hanya untuk menjadikan kitab Imam
Malik itu sebagai standar baku bagi otoritas Sunnah; tapi juga untuk kepentingan
politik menjadikannya sebagai asas tunggal bagi undang-undang hukum Islam.
Dasar
penolakan Imam Mālik adalah bahwa Sunnah mencakup tradisi yang hidup di dalam
masyarakat, yang merupakan hasil interpretasi praktis dari murid-murid Nabi (Sahabat)
atas Sunnah Nabi SAW. Karenanya, pengadaan naskah hadits secara baku dapat menjadi
ancaman bagi tradisi keislaman yang bersifat praktis, dan harus tunduk pada
satu corak interpretasi versi pemerintah.
Sunnah
dalam konsepsi itulah yang diakui sebagai sumber ketetapan hukum yang qath’i,
di samping al-Qur’an. Inilah yang menjadi pandangan umum kaum Sunni yang awal
tentang sumber hukum Islam yang kedua. Menurut mereka dasar hukum yang sah
adalah Sunnah Nabi yang hidup secara aktual dalam praktek ideal masyarakat
muslim. Mereka ini tidak menolak hadits (laporan verbal tentang Sunnah), tapi
mereka berpandangan bahwa Sunnah Nabi yang otentik yang telah menjadi praktek
hidup penduduk Madinah (‘Amal Ahl al-Madīnah) sebagai pewaris tradisi
Nabi SAW.
Sementara
kalangan Hanafi berpandangan bahwa rujukan yang sah bagi Sunnah adalah praktek
umum generasi Sahabat dan Tabiin yang menjadi norma sosial pada masyarakat
muslim setempat. Karenanya, mazhab Haanafī hanya dapat menerima hadits-hadits yang
diriwayatkan secara kolektif, yaitu melalui sejumlah jalur rāwī yang
mencapai tingkat masyhūr atau mutawātir di setiap thabaqatnya.
Sementara sumber-sumber perorangan (hadits ahad) tak dapat dijadikan rujukan
yang meyakinkan untuk menduduki posisi Sunnah Nabi sebagai sumber hukum.
Hingga
tahap perkembangan ini, Sunnah dan hadits sangat dibedakan dalam praktek hukum,
karena hadits tidak dipandang dapat mewakili otoritas Sunnah sebagai sumber
hukum (hujjah). Maka hadits tidak mempunyai fungsi yang lebih dari
sebagai catatan informal yang tidak berkekuatan hukum.
Perkembangan
konsepsi itulah yang menjadi salah satu sumber kekhawatiran Syafi’ī, sehingga
mendorongnya untuk merumuskan suatu formula keilmuan untuk diakuinya hadits
sebagai representasi Sunnah Nabi SAW. Kekhawatiran Syafi’i adalah bahwa jika
konsep Maliki dan Hanafi dipertahankan, maka generasi muslim selanjutnya akan
kehilangan akses terhadap Sunnah, baik karena perubahan sosial yang berlaku
secara niscaya, maupun karena semakin jauhnya jarak waktu dengan generasi Sahabat
dan Tabi’in. Dengan demikian, konsep Sunnah yang mengacu pada praktek hidup
masyarakat atau generasi tertentu, tidak dapat diandalkan untuk menjamin
kelestarian Sunnah yang otentik.
Oleh
karena itu, Syafi’i menyerukan diterimanya hadits sebagai media yang sah dan
satu-satunya untuk merujuk Sunnah Nabi SAW, dengan mensyaratkan adanya
transmisi yang bersambung hingga (marfū’) ke Nabi SAW. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan identitas yang bersifat tetap dan definitif bagi
Sunnah, sehingga dapat diverifikasi secara pasti yang akan menutup celah bagi
munculnya klaim-klaim periwayatan secara palsu. Sejak itu pula, upaya
formalisasi keilmuan hadits sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri
dilakukan, diikuti dengan perumusan sistem kritik hadits yang lebih ketat.
Selanjutnya
muncul upaya proteksi hadits secara lebih massif oleh golongan Ahl al-Hadits,
di bawah pimpinan Ahmad ibn Hanbal yang berlanjut dengan lahirlah enam kitab
hadits yang diakui memiliki kriteria seleksi hadits paling ketat, yang dikenal
dengan sebutan “Al-Kutub al-Sittah”. Dengan perkembangan ini, Sunnah dibakukan
oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bentuk hadits. Maka ditetapkanlah
hadits sebagai sumber resmi kedua setelah al-Qur’an, mewakili otoritas Sunnah.
E. Konsep Jamā’ah
“Jamā’ah” adalah prinsip yang dikembangkan untuk
mendampingi prinsip Sunnah dalam kerangka konseptual Ahl al-Sunnah
wa al-Jamā’ah. Dua prinsip
ini menjadi landasan legitimatif bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah pada
dua level: Sunnah pada level keagamaan (ilāhī); dan Jamā’ah pada
level sosial-kemasyarakatan. Konsep jamā’ah juga dikembangkan oleh kaum `ulamā’
dalam kerangka pemikiran hukum Islam, yang diwujudkan dalam prinsip ijmā’.
Namun dalam pengertian luas, istilah jamā’ah telah muncul sejak awal,
sebagai konsep normatif tentang cita-cita kolektivitas umat Islam. Maka prinsip
jamā’ah sesungguhnya diarahkan untuk menjadi perekat sosial, demi
terwujudnya masyarakat muslim yang menyatu dalam satu tatanan: “ummah”.
Konteks
sejarah masa lalu dapat memperlihatkan bahwa prinsip itu menjadi sangat penting
sejak terjadinya perpecahan dalam tubuh Islam, yang telah menggejala sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW. Atas dasar kepentingan terhadap integritas sosial
umat Islam, muncullah upaya-upaya konseptualisasi “jamā’ah” menjadi
prinsip teologis dan ideologis-politis. Kenyataan sejarah memperlihatkan bahwa
kaum `ulamā’ dan elit penguasa (ulū al-amr) merupakan dua pihak
yang paling berkepentingan untuk mengangkat prinsip jamā’ah menjadi
sumber dan landasan normatif dalam Islam, hingga akhirnya lahir ortodoksi Islam
Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
Landasan
normatif bagi prinsip jamā’ah terdapat di sejumlah riwayat hadits. Namun yang
dikembangkan dalam kerangka Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, kurang
lebih dapat digambarkan dari hadits berikut:
Haaddatsana Abu Raja’ al-Utaridi berkata, aku mendengar Ibn
‘Abbas ra. dari Nabi SAW bersabda: “Barang siapa melihat sesuatu yang tidak
disenangi dari pemimpinnya, maka hendaklah bersabar; karena barang siapa
memisahkan diri dari al-jamā’ah satu jengkal saja lalu mati, maka ia
mati dengan kematian jahiliyyah.” (HR. al-Bukhārī).
Ajaran
yang terkandung dalam hadits ini terekspresikan dengan sangat baik pada
kecenderungan umum umat Islam pada masa-masa awal pasca Tahkīm, yang
terwakili dalam pandangan teologi-politik Murji’ah. Pandangan yang tipikal
Sunni ini sesungguhnya telah tumbuh sejak masa-masa yang lebih awal, dan
menjadi paham mayoritas umat Islam. Justru karena visi jamā’ī inilah,
umat Islam berhasil mempertahankan kesatuan sosialnya, meski telah banyak
mengalami goncangan politik, mulai dari perebutan khilāfah antara golongan Muhajirin
dan Anshar; perselisihan antara Banu Umayyah (faksi ‘Utsman dan Mu’awiyah) dan
Banu Hasyim (faksi ‘Ali); pemberontakan Khawārij terhadap pemerintah Umawiyyah;
perebutan kekuasaan antara Banū ‘Abbās dari Banu Umayyah; dan
pertentangan-pertentangan lain yang melibatkan sentimen-sentimen kesukuan dan
kebangsaan yang cenderung mengarah pada perpecahan sosial.
Demi
mengatasi persoalan tersebut, dibangunlah prinsip yang dapat membangkitkan
kesadaran kolektif yang bersifat universal. Maka dikembangkanlah prinsip jamā’ah
sebagai doktrin politik yang dibingkai dalam kerangka teologis. Prinsip ini
mengajarkan, sebagaimana dinyatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa “fanatisme dan
perang sesama muslim adalah haram; dan bahwa penguasa negara, meskipun tidak
becus dan bahkan melakukan kezaliman nyata, harus tetap dipatuhi.” Prinsip ini
akhirnya menanamkan kesadaran bahwa tidak ada alasan apa pun untuk tidak patuh
kepada penguasa. Abu al-Hasan al-Mawardi bahkan berkesimpulan bahwa taa’t
kepada penguasa (ulū al-amr) adalah kewajiban syar’ī, yang hanya
membenarkan untuk tidak mengikuti perintah-perintahnya yang tidak benar, tapi
tidak membenarkan aksi pemberontakan terhadap kekuasaannya.
Selanjutnya,
prinsip ini diperhalus menjadi kesepakatan untuk melawan kekacauan dan
ketidaktertiban (anarkisme sosial-politik). Maka lahirlah prinsip yang
menyatakan bahwa pemerintahan yang zalim adalah lebih baik daripada tidak ada
pemerintahan sama sekali. Karenanya, menurut al-Māwardī, regulasi pemerintahan
adalah wajib, demi agama (harasat al-dīn) dan politik (siyasat
al-dunya).
Prakteknya,
pemerintahan Umawiyyah telah menjalankan prinsip jamā’ah itu sebagai
alat stabilisasi sosial dan politik, terutama dalam rangka menghadapi
gerakan-gerakan oposisi, yang tak jarang dijadikan sebagai alat veto terhadap
gerakan yang diserang sebagai gerakan pembangkangan terhadap konsensus sosial (fāraqa
al-jamā’ah).[6]
Prinsip
jama’ah itu selanjutnya dibakukan menjadi konsep ijma’, yang dijadikan
sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits. Dari upaya-upaya
konseptualisasi itulah, Syafi’i berhasil meletakkan pondasi bagi keilmuan ushul
al-fiqh melalui kitab Al-Risalah, dengan membakukan empat sumber
hukum Islam, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah/Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
f. Konsolidasi Madzhab
Perkembangan
tersebut memberi pengaruh positif bagi kebangkitan kaum ulama dengan
dikukuhkannya madzhab-madzhab fiqh Sunni merujuk pada otoritas empat imam,
yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal. Perkembangan itu juga
efektif memupus praktek-praktek ijtihad bebas sekaligus mempersempit celah ,
termasuk magi ambisi penguasa untuk melakukan standardisasi dan sentralisasi
hukum Islam melalui jabatan Qadhi al-Qudhat. Sikap Syafi’i menjadi contoh ideal
posisi `ulamā’ di hadapan pemerintah, untuk tidak terlibat dalam hubungan yang
terlalu dekat dengan pemerintah. Terkait dengan ini, al-Syāfi’ī pernah menolak
untuk menduduki jabatan qadhi al-qudhat yang ditawarkan oleh al-Ma’mūn
pada awal kekuasaannya, yang berujung pada pengasingannya ke Mesir.
Namun hingga tahap
perkembangan tersebut, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah belum menjelma
menjadi satu sistem madzhab. Pemikiran Islam masa itu masih terkotak-kotak
dalam madzhab-madzhab kecil yang jumlahnya nyaris tak terbilang. Pada umumnya,
madzhab pemikiran masa itu dapat berdiri dengan hanya mengacu pada satu
kelompok pengajian yang terdiri dari satu guru dan sejumlah murid. Meskipun
terdapat madzhab-madzhab besar, yang oleh al-Asy’arī disebut sebagai “ummahat
al-firaq”,[7] namun fakta politik masa itu menyulitkan bagi terbentuknya satu madzhab
yang mendominasi sebagai mayoritas tunggal. Hal ini terkait dengan perpecahan
politik yang telah melahirkan dinasti-dinasti kecil yang jumlahnya juga nyaris
tak terbilang. Masing-masing dinasti pada umumnya mempunyai madzhab tersendiri.
Fakta umum yang terjadi di lingkungan Sunni adalah
peneguhan kekuatan politik atas dasar afiliasinya kepada madzhab fiqh. Dengan kata lain, kekuatan politik Sunni masa
itu terpusat pada madzhab-madzhab
fiqh,
dan bukan pada madzhab kalam (teologi).
Momen
kekuasaan madzhab Sunni pertama kali diraih oleh golongan Hanabilah yang keberhasilannya
menggugurkan program mihnah, sekaligus meruntuhkan pengaruh Mu’tazilah
dalam pemerintahan Abbasiyah pada masa Al-Mutawakkil. Golongan Hanabilah yang memperkenalkan diri
dengan nama Ahl al-Sunnah wa al-Hadits menolak masuknya segala bentuk
rasionalisme asing ke dalam Islam, termasuk segala bentuk pemikiran kalam dalam
Islam.
Perkembangan Sunni
selanjutnya beralih ke kaum Hanafi dimulai sejak kekuasaan Banu Buwaih yang
meskipun merupakan penganut Syi’ah, namun dalam fiqh banyak menganut madzhab
Hanafi. Kedudukan Hanafi semakin kuat setelah berkoalisi dengan kalam Maturidi
pada awal pemerintah Banu Saljuk atas pengaruh dari wazir Saljūq yang bermazhab
Haanafiyyah-Mātūrīdiyyah, yaitu al-Kundūrī.
Namun perkembangan
yang memberi identitas tetap bagi madzhab Sunni adalah ketika paham Asy’ariyyah
yang berafiliasi pada paham fiqh Syāfi’i berhasil menjadi paham resmi sejak Nizham
al-Mulk menggantikan jabatan al-Kunduri. Kisah peralihan kekuasaan itu sendiri
mengungkap realitas lain dari perkembangan Sunni dalam proses formulasinya,
bahwa perbedaan antar madzhab dalam tubuh Sunni sudah sangat tajam. Konfrontasi
yang paling tajam terjadi antara Syafi’iyyah-Asy’ariyyah di satu pihak; dan Hanafiyyah-Maturidiyah
di lain pihak.
Dikisahkan bahwa pada masa kekuasan al-Kunduri, muncul larangan terhadap paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah. Sejumlah tokoh Syafi’iyyah-Asy’ariyyah bahkan
pernah dipenjara dan disiksa karena perbedaan madzhab tersebut, seperti:
al-Bayhaqī (w. 1066), al-Qusyayrī (w. 1072), dan al-Juwaynī (w. 1085).
Keadaan itu
berbalik ketika Nizham al-Mulk berhasil menggulingkan al-Kunduri melalui perang
sipil yang melibatkan kaum dari dua madzhab Sunni tersebut. Sejak itulah paham
Syafi’iyyah-Asy’ariyyah diteguhkan dalam proses indoktrinasi secara
besar-besaran, melalui Madrasah Nizhamiyyah yang fokus pada pendidikan paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah.
Direktur pertama dari lembaga pendidikan itu adalah al-Juwainī, dengan program
utama memasyarakatkan paham Syāfi’iyyah-Asy’ariyyah dengan nama “al-‘Aqidah
al-Nizhamiyyah.
G. Resolusi Sunni
Realitas perpecahan
itu semakin rumit jika ditarik dalam lingkup yang lebih luas, mencakup
aliran-aliran dalam tasawuf dan sikap terhadap filsafat. Hal itulah yang harus
dihadapi oleh Al-Ghazali. Dalam otobiografinya, Al-Ghazali menyatakan:
Ketahuilah bahwa perselisihan
makhluk dalam hal agama dan kepercayaan, yang berlanjut dengan perselisihan
ulama dalam madzhab-madzhab hingga menciptakan kelompok umat yang sangat
banyak, telah menciptakan lautan yang amat dalam yang menenggelamkan mayoritas
umat. Hanya sedikit dari mereka yang selamat, hanya saja setiap kelompok merasa
dirinyalah yang selamat.
Hasil studinya atas
empat kelompok besar dalam pemikiran Islam: Kalam, Bathiniyah, Filsafat, dan
Tasawuf, membawanya pada kesimpulan bahwa masing-masing kelompok itu adalah
jalan menuju kebenaran yang berbeda-beda, yang benar menurut porsinya
masing-masing. Kebenaran yang utuh hanya dapat diperoleh jika empat cara pandang itu
diletakkan dalam porsinya.
Berdasarkan hal
tersebut, Ghazali merumuskan tiga tingkatan nalar berdasarkan porsinya
masing-masing, yaitu:
1.
Nalar syar’i (al-‘aqliyyah
al-syar’iyyah), yang digunakan untuk memaparkan sesederhana mungkin
hukum-hukum fiqh dan usūlnya.
2.
Nalar falsafi (al-‘aqliyyah
al-falsafiyyah), yang digunakan untuk memberi kerangka rasional bagi
ajaran-ajaran nash .
3.
Nalar sufistik (al-‘aqliyyah
al-shufiyyah), yang
digunakan untuk mengungkap rahasia-rahasia agama, demi pencapaian pengetahuan
yang hakiki (ma’rifah).
Inilah formula yang
ditetapkan Ghazali dalam rangka memberikan jalan tengah yang damai antar
berbagai corak keilmuan dan aliran pemikiran menjadi satu sistem madzhab yang
utuh, yang lengkap dengan perangkat fiqh, kalam dan tasawufnya. Cara moderat itulah
yang mengubah perselisihan madzhab-madzhab dalam satu pandangan bersama di
bawah panji Ahl al-Sunnah. Demikianlah Ghazali memasukkan pesan-pesan
sufistik dalam pembahasan-pembahasan kalamnya, memberikan bentuk syar’i bagi tasawwuf
yang sebelumnya hanya berkutat pada masalah haqiqah (esoterik); memberi
kerangka rasional filosofis bagi doktrin-doktrin hukum fiqh; memberi acuan
teologis (doktrin kalām) bagi filsafat; dan akhirnya memberi ransangan
berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat doktriner yang hanya akan memperluas
populasi muslim awam yang jauh dari ilmu.
Inilah wajah
sesungguhnya dari ortodoksi Islam yang dibangun oleh al-Ghazālī, meminjam
pola-pola yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh al-Syāfi’ī dan al-Asy’arī,
hingga membentuk diri menjadi resolusi resmi dari paham Ahl al-Sunnah wa
al-Jamā’ah.
Praktis, hanya
paham-paham yang secara tegas dan aktif memisah diri dari mainstream
perkembangan pemikiran Islam (fāraqa al-jamā’ah) yang tidak terakomodir
dalam formula madzhab Ghazali. Dalam hal ini, kaum Syī’ah menjadi kelompok
terbesar yang memisah diri secara ideologis, meskipun al-Ghazālī sendiri telah
mengakomodir pandangan ta’limiyyah bathiniyyah yang dikembangkan oleh Syī’ah
Isma’iliyyah. Sementara mayoritas terbesar dari umat Islam telah melebur dalam jama’ah
al-sawad al-a’zham, sebagaimana dikehendaki oleh Sunnah Nabi SAW.
H. Perkembangan
dan Respons
Sepeninggal
al-Ghazālī, diiringi dengan keruntuhan Banu Saljuq dan melemahnya ‘Abbasiyyah,
perkembangan pemikiran Islam di wilayah ‘Abbāsiyyah seakan mengalami anti-klimaks.
Tasawwuf yang diagungkan al-Ghazālī sebagai puncak pencapaian pengetahuan, dan
menjadi media utama dalam menjembatani (moderasi) berbagai corak pemikiran
dalam Islam, justru berkembang ke arah yang ekstrem menjadi tarekat-tarekat
yang tumbuh subur terutama di lingkungan bangsa Turki, penduduk Yaman, dan
Afrika. Perkembangan ini mengubah wajah tasawwuf dari bentuknya yang semula sebagai ekspresi
kualitas kedalaman pengetahuan individual dalam beragama; menjadi tempat
pelatihan spiritual secara massal, formal, dan terstruktur. Tasawwuf
yang pada mulanya menjadi media seseorang berhubungan langsung dengan Allah,
lewat mahabbah dan ma’rifah, berubah menjadi lembaga kultus terhadap individu
guru tarekat. Suatu bentuk perkembangan yang tak dibenarkan dalam ortodoksi
Sunni yang awal, yang menjadi alasan kaum Hanābilah untuk melarang sama sekali
segala bentuk praktek tasawwuf.
Bentuk lain dari perkembangan tasawwuf adalah
munculnya tokoh-tokoh teosofi, yang berupaya mengekspresikan
pengalaman-pengalaman subjektif tasawwuf ke dalam paparan-paparan
filosofik. Sesuatu yang sejak semula telah mendapat reaksi keras dari tasawwuf
ortodoks, pimpinan al-Junayd al-Baghdādī. Inilah yang dimunculkan kembali oleh
Ibn ‘Arabī, dengan menebarkan paham wahdat al-wujūd yang menjadi
ancaman ganda terhadap paham tasawwuf Sunni dan sistem teologinya
tentang tawhīd, sebagaimana diteguhkan al-Ghazālī.
Semetara filsafat
seakan mengalami trauma sejak serangan kritis al-Ghazālī atas sejumlah kasus
pemikirannya yang inkonsisten. Filsafat nyaris tak pernah muncul dalam tradisi
Sunni, kecuali Ibn Rusyd yang hidup di luar wilayah ‘Abbāsiyyah. Hal ini seakan menegaskan kenyataan awal bahwa
filsafat memang tidak cocok dengan budaya dan tradisi berpikir kaum `ulamā’.
Sehingga Tahāfut al-Falāsifah seakan hanya dijadikan alibi bagi
keengganan kaum Sunni untuk mengembangkan filsafat. Karena pada kenyataannya,
filsafat tetap hidup dalam tradisi Syī’ah (dan teosofi), meskipun tidak sebesar
capaian yang dihasilkan oleh dua pendahulu mereka: Ibn Sīnā dan al-Fārābī.
Perkembangan yang
sama sekali baru dalam tradisi Sunni pasca al-Ghazāli adalah munculnya reaksi
internal dari kaum Hanābilah, melalui Ibn Taymiyah (w. 728/1328). Ibn Taymiyyah
ingin meneguhkan kembali paham Ahl al-Hadits yang dibangun oleh Ibn Hanbal
atas nama Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Untuk itu, ia menulis sebuah
risalah yang diberi judul “al-Aqidah al-Wasithiyyah” yang menyatakan
klaim resmi atas akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Paham itu secara
terang-terangan membongkar klaim Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang
disandang kubu al-Ghazālī, dan sama sekali tidak memberi toleransi kepada
gerakan tasawwuf dan kalām.
Pada era modern,
paham ini dikembangkan lebih jauh oleh gerakan Wahabi dengan nama Sunni Salaf (madzhab
al-Salaf). Nisbat kepada Salaf ini seakan ingin mempertegas bahwa ortodoksi
Sunni yang dibangun oleh al-Ghazālī, melalui prinsip-prinsip Syāfi’iyyah dan
Asy’ariyyah, bukanlah wakil resmi dari paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
Dengan kata lain Sunni versi al-Ghazālī atau yang dapat juga disebut
Sunni-Khalaf, adalah gerakan sempalan (bid’ah) dari Ahl al-Sunnah wa
al-Jamā’ah versi Hanabilah.
Terlepas dari
berbagai perkembangan tersebut, watak moderat menjadi warisan sangat berharga dari
tradisi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang dibangun dalam sejarah panjang
ulama menghadapi berbagai situasi perkembangan umat Islam. Watak itulah yang perlu
dijaga untuk memelihara agar tidak terjebak dalam kutub-kutub ekstrem tertentu;
juga tanpa mengabaikan potensi-potensi perbedaan yang niscaya terjadi.
[1]Kata madzhab berarti: al-mu’taqad (pegangan), al-thariqah (cara), al-ashl (dasar). Adapun kata kerjanya (dzahaba), berarti: memandang suatu
permasalahan dengan cara-pandang tertentu
(ra’a fi al-ma’alati dzlika al-ra’y). Louis Ma’luf, Al-Munjid
fi al-Lughah, Beirut: al-Maktabah al-Katsulikiyyah, 1956; Ibn Manzhur al-Ruwaifa’I, Lisan al-‘Arab, jilid 1,
Beirut: Dar Shadir, 1414
[2] Bagi Ahl al-Hadits, rujukan dalam
masalah kalam adalah Ahmad ibn Hanbal. Namun nama ini tidak disebutkan sebagai
tokoh rujukan dalam kalam, karena Ahmad ibn Hanbal sendiri merupakan tokoh
utama yang menolak adanya disiplin ilmu kalam dalam Islam. Ahmad ibn
Taimiyah dan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhāb, Majmu’at al-Tauhid (26
risālah), Beirut: Dār al-Fikr, t.t.; Muhammad Shalih
al-‘Utsaimin, Syarh al-Aqidah al-Wāsithiyyah li Ibn Taimiyah, Riyad dan Jeddah: Dār Ibn
al-Jawzī, 1416 H, cet. ke-3
[4] Lihat: Ghazali, Abu Hamid al-,
Ihya’ Ulum al-Din, t.t.
[5] Jawziyyah, Ibn al-Qayyim
al-, Syifā’ al-‘Alīl, 1988
[6] Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam,
1974
[7]Abū al-Hasan al-Asy’arī,
Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mushallīn, 1954
Tidak ada komentar:
Posting Komentar