Minggu, 25 Mei 2014

SEJARAH SUNNI - KONSEP AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA'AH

AHL AL-SUNNAH WA AL-JAMA’AH
A.  Pendahuluan
Madzhab, menurut makna kebahasaannya, dapat diartikan sebagai cara memandang sesuatu mengikuti prinsip-prinsip dasar yang dijadikan acuan pegangan.[1]  Sejatinya, madzhab adalah pemikiran yang menawarkan cara-pandang paradigmatis tentang bagaimana memahami ajaran Islam dan bagaimana merumuskannya. Dalam konteks pemikiran, mazhab muncul sebagai alternatif yang terbuka dan tidak mengikat, bersifat intelektual murni, dan bebas dari kepentingan-kepentingan sosial dan politik.
Namun dalam konteksnya yang historis, sebuah mazhab pemikiran hampir tidak mungkin tumbuh dan berkembang tanpa pengaruh-pengaruh lingkungan sejarahnya. Karena produk pemikiran pada dasarnya adalah hasil interaksi dialogis antara pemikiran dan realitas-realitas yang dihadapinya. Dunia pemikiran mutlak mempertimbangkan hal tersebut sebagai variabel yang dapat memberi jaminan bagi diterimanya suatu produk pemikiran, sekaligus juga sebagai landasan kontekstual bagi historisitas suatu pemikiran. Maka tidak salah jika dinyatakan bahwa produk-produk pemikiran dalam Islam sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan politik yang berkembang pada saat produksi pemikiran itu terjadi. Malah lebih jauh dapat dikatakan bahwa kelahiran pemikiran-pemikiran Islam itu memang didorong oleh dinamika kehidupan sosial dan politik Islam masanya, di samping karena dorongan utama dari intelektualisme keagamaan.  
Oleh karena itu, suatu madzhab menjadi menarik untuk dikaji sebagai layar proyeksi untuk mendapatkan gambaran tentang ekspresi-ekspresi sosial, politik dan pemikiran yang terjadi pada masa pembentukannya hingga suatu wacana pemikiran hingga diterima menjadi formula ajaran yang baku.
Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah atau sering disingkat dengan sebutan Sunni, yang hingga perkembangan terkini menjadi mazhab yang paling populer dan paling banyak penganutnya di dunia Islam, dapat menjadi contoh kasus yang ideal dari proses formulasi mazhab pemikiran. Ia tidak hanya dapat bertahan dari serangan kritik-kritik pemikiran, tapi juga terbukti mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial-politik yang terus berlangsung selama berabad-abad, di wilayah-wilayah budaya yang beraneka ragam.
Sejarah panjang pembentukan mazhab Sunni itu menjadi semakin kompleks, mengingat bahwa ada banyak sekali disiplin pemikiran keislaman yang terlibat dalam proses konsolidasi paham mazhab hingga melingkupi hampir seluruh disiplin keilmuan Islam, untuk melengkapi struktur-bangun ajaran Islam Sunni. Secara garis besar, dapat disebutkan sebagai representasi utama keilmuan Sunni yaitu: ‘Ulum al-Qur’an, ‘Ulum al-Hadits, Fiqh, Ushul al-Fiqh, Kalam, dan Tashawwuf.
Setiap disiplin keilmuan inipun membentuk mazhab-mazhab disipliner internal mazhab Sunni. Sehingga dapat dimengerti jika di dalam tubuh mazhab Sunni sendiri terdapat sub-sub mazhab, yang kesemuanya menjadi kesatuan utuh yang melengkapi mazhab Sunni sebagai sebuah cara pandang paradigmatis yang variatif dan multi disipliner. Hal ini sekaligus juga menjelaskan bahwa meskipun mazhab Sunni telah dipandang baku sejak kemunculan al-Ghazali, namun tidak pernah ada ketetapan resmi tentang adanya rujukan tunggal dalam bermazhab Sunni. Dengan kata lain, selalu ada lebih dari rujukan yang diakui (mu’tabarāt). Bidang fiqh mengenal empat madzhab (al-madzahib al-arba’ah). Bidang hadits mengakui adanya enam kitab yang mu’tabar (al-Kutub al-Sittah). Bidang Kalam, terdapat tokoh-tokoh mu’tabar seperti Abu al-Hasan al-Asy’ari, Abu Manshur al-Maturidi.[2] Bidang-bidang lain dalam kerangka Sunni pun mempunyai sejumlah rujukan yang tidak tunggal. Ini sekadar menunjukkan bahwa sesungguhnya mazhab Sunni tidak pernah baku dalam satu identitas formulatif yang tetap.
Kompleksitas mazhab Sunni ditambah lagi dengan kenyataan bahwa ada faktor-faktor lain di luar pemikiran intelektual murni yang ikut mempengaruhi proyek-proyek pembangunan mazhab Sunni, yaitu fakta-fakta historis kehidupan umat Islam di era formasi mazhab-mazhab Islam (the formative era), mulai dari fakta sosial, budaya, ekonomi, politik, ideologi, dan dinamika pemikiran itu sendiri. Sejarah kebesaran mazhab Sunni bahkan merupakan andil besar dari sokongan dari pranata-pranata dan politik terutama sejak masa pemerintahan al-Mutawakkil hingga masa Nizam al-Mulk.
Pengungkapan seluruh kompleksitas yang menaungi dan mengiringi kelahiran dan pertumbuhan mazhab Sunni itu, menjadi penting untuk menangkap spirit dan aspirasi vital dari paradigma ke-Sunni-an yang sesungguhnya. Hanya dengan cara ini konstruk paham Sunni dapat ditampilkan kembali ke alam sejarah masa kini secara aktif. Dengan demikiran, upaya revitalisasi (penghidupan kembali) dapat dilakukan sesuai dengan gambaran semangat hidupnya (vitalitas) yang awal, pada masa pertumbuhan dan perkembangannya.
B.   Pembacaan Ulang Terhadap Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Sejarah formulasi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah adalah era ketika pemikiran menjadi bagian dari ekspresi-ekspresi sosial dan politik, yang secara definitif berlangsung pada masa ‘Abbasiyyah; dan karenanya ia juga menjadi bagian dari konflik-konflik sosial dan politik umat Islam pada masanya. Kenyataan inilah yang menjadi ciri kosmopolitanisme pemikiran Islam, karena aspek-aspeknya yang sedemikian lengkap, meliputi pemikiran keagamaan murni dan segala pemikiran yang diperlukan bagi pembangunan peradaban sosial dan politik Islam, dengan warna yang saling mempengaruhi. Hal ini juga sekaligus pernyataan Ira M. Lapidus, bahwa pemikiran Islam tumbuh subur karena banyak disponsori oleh pemerintah politik pada masanya.[3]
Prinsip paling dasar madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, sesuai dengan namanya, adalah Sunnah dan Jamā’ah. Dua prinsip tersebut terlihat sederhana untuk dipahami, namun sesungguhnya merupakan rangkuman dari seluruh proses wacana pemikiran, sosial dan politik yang menyedor seluruh energi ulama, penggiat dan penyokong paham tersebut hingga menjelma menjadi kekuatan paling dominan (ortodoksi) dalam sejarah Islam. Dalam prosesnya, terjadi perdebatan sengit mengenai apa yang dimaksud dengan sunnah dan jamaah, hingga pada batas bahwa hampir setiap pendapat membentuk madzhabnya sendiri. Perdebatan-perdebatan ini terus berlangsung hingga munculnya kompromi dari al-Ghazālī, dengan memasukkan berbagai disiplin pemikiran (kecuali filsafat) sebagai komponen yang melengkapi formula resmi mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
C.   Asal-usul Konseptual
Istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah menjadi istilah yang sangat polemis dalam wacana mazhab pemikiran Islam, karena secara historis istilah itu tidak muncul pada awal-awal perkembangan mazhab dalam Islam hingga masa-masa pertengahan khilāfah ‘Abbāsiyyah. Sementara penganut Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah belakangan sering menyitir sebuah hadits yang menegaskan bahwa dari 73 golongan umat hanya satu yang selamat. Hadits tersebut tidak menyebutkan nama golongan tertentu, namun ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah golongan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Penjelasan ulama itulah yang sering disalahpahami sebagai bagian dari matan hadits.
Kaum Hanabilah termasuk yang pertama menggunakan istilah Ahl al-Sunnah, tapi tanpa menyebutkan istilah jama’ah. Mereka menamakan golongannya sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Hadits. Sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah bagi kaum Hanabilah muncul dari Khalifah al-Qādir melalui sebuah manifesto “al-I’tiqād al-Qādiriyyah” yang disebarkan pada tahun 433 H/1041 M.
Istilah “Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah” juga digunakan oleh al-Thahawi. Tokoh Sunni Mesir yang jarang sekali dikaitkan dengan paham resmi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah ini, menuangkan pikirannya dalam sebuah risalah teologi yang berjudul “Bayān al-Sunnah wa al-Jamā’ah”.  Ia hidup hampir semasa dengan al-Asy’ari dan al-Maturidi.
Harun Nasution mempunyai asumsi kuat bahwa istilah itu baru dipakai sesudah timbulnya paham Asy’ariyyah dan Mātūrīdiyyah, dua aliran yang menurut versi tertentu menjadi wakil resmi dari akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Asy’ari dan Maturidi bahkan digelari sebagai “Syaikhā Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah” (dua tokoh utama Sunni). Tidak diketahui lebih jelas, kapan dan mengapa istilah itu menjadi populer dan diasosiasikan pada paham al-Asy’ari dan al-Maturidi.
 Istilah yang lebih populer digunakan, sebagaimana juga digunakan oleh al-Ghazālī,[4] adalah “Ahl al-Sunnah”. Sedangkan istilah “Sunnī” diperkenalkan pada masa yang lebih belakangan oleh al-‘Ījī (w. 1355 M). Selain al-‘Ījī, sesungguhnya Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 751/1350) juga telah mempergunakan istilah “Sunnī” (al-sunniyy), sebagaimana terekam dalam kitab “Syifā’ al-`Alīl”.[5]
Terlepas dari masalah asal-usul kelembagaan nama Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang sulit dipecahkan karena simpang-siur berbagai versi tentang masalah itu, Fazlur Rahman mempunyai isyarat penjelasan yang menarik tentang akar tradisi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Menurut Rahman, cikal-bakal paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah telah tumbuh dalam lingkungan para pengembang paham moderat dalam Islam, yang dibangun secara melembaga oleh kaum Murji’ah.
Pandangan moderat ini menjadi representasi pandangan mayoritas umat Islam (jamā’ah) yang cenderung tidak ambil sikap secara aktif dalam perselisihan-perselisihan politik, dan tidak menghakimi secara teologis. Pandangan yang bercorak murji’i (tidak sepenuhnya berarti mazhab Murji’ah) juga menjadi representasi resmi dari bentuk kesalehan salaf, yang lebih memilih sikap menahan diri dari segala bentuk pertikaian internal umat Islam, dan lebih memusatkan perhatian pada upaya-upaya pengembangan ilmu. Karena faktor inilah, lingkungan yang terbangun oleh cara-pandang yang murji’ī menjadi wadah paling kondusif bagi pertumbuhan kelas `ulama’ dalam struktur sosial masyarakat muslim yang memberi sumbangan besar bagi pembentukan paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah pada masa ‘Abbasiyyah.
Watak Murji’ah yang a politis menjadi pilihan logis bagi penguasa Banu Umayyah untuk dirangkul sebagai mazhab resmi, di tengah kepungan dua rival politiknya: Khawārij dan Syī’ah. Meskipun Murji’ah sendiri tidak berusaha melakukan sistematisasi paham keagamaan, namun ia telah dijadikan pemerintah sebagai sandaran legalitas politik keagamaannya. Pada tahap inilah, semangat moderat tersebut berkembang secara gradual menjadi cikal bakal paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. 
Hal tersebut terkait dengan kebijakan sosial-politik keagamaan Banu Umayyah untuk melaksanakan dua proyek besar untuk menyatukan umat Islam di bawah kekuasaan politiknya dan menghapus friksi-friksi politik di dalam satu paham keagamaan. Proyek pertama adalah penulisan sunnah-sunnah Nabi SAW, segera mendorong pembakuan Sunnah dalam bentuk riwayat-riwayat verbal (hadits) yang terdokumentasikan. Proyek kedua, pelembagaan konsep syarī’ah menjadi tatanan hukum formal, yang diperkuat dengan melembagakan prinsip kesepakatan bersama umat Islam (ijmā’ jamā’ah).
Pelembagaan terhadap dua konsep fundamental dalam ajaran Islam inilah yang menjadi komponen inti dalam doktrin Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, yang pada gilirannya menjadi prinsip dasar yang disepakati oleh mayoritas umat sebagai doktrin-resmi (ortodoksi) agama Islam.
D. Konsep Sunnah
Sunnah disepakati sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur’an. Oleh sebab itu, terbentuk suatu cara pandang yang mengharuskan adanya Sunnah untuk membenarkan suatu pendapat. Pada celah inilah, muncul hadits-hadits palsu akibat ulah orang-orang yang berlaku serampangan terhadap agama, agar pendapatnya didengar dan diakui orang lain. Keinginan memperkuat pendapat dengan dukungan sunnah juga menghinggapi elit-elit politik, sehingga menjadi Sunnah dalam posisi yang terjepit di antara banyak kepentingan.
Atas perkembangan itulah muncul ulama yang mengerahkan segala upayanya untuk melakukan proteksi terhadap sunnah, yang ditandai dengan munculnya gerakan ahl al-Sunnah, dengan al-Haasan al-Bashri sebagai figur tradisionalnya. Gerakan Ahl al-Sunnah itu berkembang menjadi lebih sistematis pada peralihan abad pertama menuju abad kedua Hijriyah. Hal ini ditandai dengan munculnya sistem isnad (transmisi berantai) sebagai salah satu komponen inti dalam meriwayatkan Sunnah Nabi SAW. Sistem itu juga yang memicu pertumbuhan kegiatan verbalisasi Sunnah secara massif menjadi riwayat-riwayat hadits.
Namun hingga tahap perkembangan itu, `ulamā’ belum sepakat dalam menerima hadits sebagai representasi sunnah. Madzhab Mālikī, umpamanya, bersikukuh pada pandangan bahwa sunnah nabawiyah yang dapat dijadikan sumber hukum hanyalah sunnah yang hidup dalam praktek masyarakat Madinah (‘amal ahl al-Madīnah). Sementara madzhab Hanafī bersandar pada praktek umum generasi Sahabah dan Tābi’īn. Bagi kedua madzhab ini, riwayat yang disandarkan kepada Nabi (hadits) tidak cukup meyakinkan untuk disebut sebagai sunnah, karena besarnya kemungkinan untuk terjadinya pemalsuan.
Meskipun demikian, ketertarikan pada riwayat hadits sebagai transmisi verbal yang terdokumentasikan dari Sunnah semakin besar, termasuk yang tergambar dari proyek pembukuan hadits yang dicanangkan pemerintah Banu Umayyah. Ibn Syihab al-Zuhri adalah ulama hadits pertama yang didatangi oleh pemerintah untuk melakukan membukukan hadits agar dapat dijadikan standar Sunnah bagi seluruh umat Islam. ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz adalah khalifah yang paling intens menyerukan tersebut, namun proyek itu tidak terlasana karena panolakan ulama.
Penolakan yang paling fenomenal adalah penolakan Imam Malik terhadap permintaan dua Khalifah ‘Abbasiyyah, al-Manshur dan Harun al-Rasyid. Harun al-Rasyīd bahkan meminta agar al-Muwaththa’ digantungkan di Ka’bah, agar dapat menjadi kiblat seluruh umat Islam berkenaan dengan Sunnah Nabawiyyah. Menurut Ahmad Amin, tujuan dari permintaan itu tidak hanya untuk menjadikan kitab Imam Malik itu sebagai standar baku bagi otoritas Sunnah; tapi juga untuk kepentingan politik menjadikannya sebagai asas tunggal bagi undang-undang hukum Islam.
Dasar penolakan Imam Mālik adalah bahwa Sunnah mencakup tradisi yang hidup di dalam masyarakat, yang merupakan hasil interpretasi praktis dari murid-murid Nabi (Sahabat) atas Sunnah Nabi SAW. Karenanya, pengadaan naskah hadits secara baku dapat menjadi ancaman bagi tradisi keislaman yang bersifat praktis, dan harus tunduk pada satu corak interpretasi versi pemerintah.
Sunnah dalam konsepsi itulah yang diakui sebagai sumber ketetapan hukum yang qath’i, di samping al-Qur’an. Inilah yang menjadi pandangan umum kaum Sunni yang awal tentang sumber hukum Islam yang kedua. Menurut mereka dasar hukum yang sah adalah Sunnah Nabi yang hidup secara aktual dalam praktek ideal masyarakat muslim. Mereka ini tidak menolak hadits (laporan verbal tentang Sunnah), tapi mereka berpandangan bahwa Sunnah Nabi yang otentik yang telah menjadi praktek hidup penduduk Madinah (‘Amal Ahl al-Madīnah) sebagai pewaris tradisi Nabi SAW.
Sementara kalangan Hanafi berpandangan bahwa rujukan yang sah bagi Sunnah adalah praktek umum generasi Sahabat dan Tabiin yang menjadi norma sosial pada masyarakat muslim setempat. Karenanya, mazhab Haanafī hanya dapat menerima hadits-hadits yang diriwayatkan secara kolektif, yaitu melalui sejumlah jalur rāwī yang mencapai tingkat masyhūr atau mutawātir di setiap thabaqatnya. Sementara sumber-sumber perorangan (hadits ahad) tak dapat dijadikan rujukan yang meyakinkan untuk menduduki posisi Sunnah Nabi sebagai sumber hukum.
Hingga tahap perkembangan ini, Sunnah dan hadits sangat dibedakan dalam praktek hukum, karena hadits tidak dipandang dapat mewakili otoritas Sunnah sebagai sumber hukum (hujjah). Maka hadits tidak mempunyai fungsi yang lebih dari sebagai catatan informal yang tidak berkekuatan hukum.
Perkembangan konsepsi itulah yang menjadi salah satu sumber kekhawatiran Syafi’ī, sehingga mendorongnya untuk merumuskan suatu formula keilmuan untuk diakuinya hadits sebagai representasi Sunnah Nabi SAW. Kekhawatiran Syafi’i adalah bahwa jika konsep Maliki dan Hanafi dipertahankan, maka generasi muslim selanjutnya akan kehilangan akses terhadap Sunnah, baik karena perubahan sosial yang berlaku secara niscaya, maupun karena semakin jauhnya jarak waktu dengan generasi Sahabat dan Tabi’in. Dengan demikian, konsep Sunnah yang mengacu pada praktek hidup masyarakat atau generasi tertentu, tidak dapat diandalkan untuk menjamin kelestarian Sunnah yang otentik.
Oleh karena itu, Syafi’i menyerukan diterimanya hadits sebagai media yang sah dan satu-satunya untuk merujuk Sunnah Nabi SAW, dengan mensyaratkan adanya transmisi yang bersambung hingga (marfū’) ke Nabi SAW. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan identitas yang bersifat tetap dan definitif bagi Sunnah, sehingga dapat diverifikasi secara pasti yang akan menutup celah bagi munculnya klaim-klaim periwayatan secara palsu. Sejak itu pula, upaya formalisasi keilmuan hadits sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri dilakukan, diikuti dengan perumusan sistem kritik hadits yang lebih ketat.
Selanjutnya muncul upaya proteksi hadits secara lebih massif oleh golongan Ahl al-Hadits, di bawah pimpinan Ahmad ibn Hanbal yang berlanjut dengan lahirlah enam kitab hadits yang diakui memiliki kriteria seleksi hadits paling ketat, yang dikenal dengan sebutan “Al-Kutub al-Sittah”. Dengan perkembangan ini, Sunnah dibakukan oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bentuk hadits. Maka ditetapkanlah hadits sebagai sumber resmi kedua setelah al-Qur’an, mewakili otoritas Sunnah.
E.   Konsep Jamā’ah
“Jamā’ah” adalah prinsip yang dikembangkan untuk mendampingi prinsip Sunnah dalam kerangka konseptual Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.  Dua prinsip ini menjadi landasan legitimatif bagi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah pada dua level: Sunnah pada level keagamaan (ilāhī); dan Jamā’ah pada level sosial-kemasyarakatan. Konsep jamā’ah juga dikembangkan oleh kaum `ulamā’ dalam kerangka pemikiran hukum Islam, yang diwujudkan dalam prinsip ijmā’. Namun dalam pengertian luas, istilah jamā’ah telah muncul sejak awal, sebagai konsep normatif tentang cita-cita kolektivitas umat Islam. Maka prinsip jamā’ah sesungguhnya diarahkan untuk menjadi perekat sosial, demi terwujudnya masyarakat muslim yang menyatu dalam satu tatanan: “ummah”.
Konteks sejarah masa lalu dapat memperlihatkan bahwa prinsip itu menjadi sangat penting sejak terjadinya perpecahan dalam tubuh Islam, yang telah menggejala sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Atas dasar kepentingan terhadap integritas sosial umat Islam, muncullah upaya-upaya konseptualisasi “jamā’ah” menjadi prinsip teologis dan ideologis-politis. Kenyataan sejarah memperlihatkan bahwa kaum `ulamā’ dan elit penguasa (ulū al-amr) merupakan dua pihak yang paling berkepentingan untuk mengangkat prinsip jamā’ah menjadi sumber dan landasan normatif dalam Islam, hingga akhirnya lahir ortodoksi Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
Landasan normatif bagi prinsip jamā’ah terdapat di sejumlah riwayat hadits. Namun  yang  dikembangkan dalam kerangka Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, kurang lebih dapat digambarkan dari hadits berikut:
Haaddatsana Abu Raja’ al-Utaridi berkata, aku mendengar Ibn ‘Abbas ra. dari Nabi SAW bersabda: “Barang siapa melihat sesuatu yang tidak disenangi dari pemimpinnya, maka hendaklah bersabar; karena barang siapa memisahkan diri dari al-jamā’ah satu jengkal saja lalu mati, maka ia mati dengan kematian jahiliyyah.” (HR. al-Bukhārī).
Ajaran yang terkandung dalam hadits ini terekspresikan dengan sangat baik pada kecenderungan umum umat Islam pada masa-masa awal pasca Tahkīm, yang terwakili dalam pandangan teologi-politik Murji’ah. Pandangan yang tipikal Sunni ini sesungguhnya telah tumbuh sejak masa-masa yang lebih awal, dan menjadi paham mayoritas umat Islam. Justru karena visi jamā’ī inilah, umat Islam berhasil mempertahankan kesatuan sosialnya, meski telah banyak mengalami goncangan politik, mulai dari perebutan khilāfah antara golongan Muhajirin dan Anshar; perselisihan antara Banu Umayyah (faksi ‘Utsman dan Mu’awiyah) dan Banu Hasyim (faksi ‘Ali); pemberontakan Khawārij terhadap pemerintah Umawiyyah; perebutan kekuasaan antara Banū ‘Abbās dari Banu Umayyah; dan pertentangan-pertentangan lain yang melibatkan sentimen-sentimen kesukuan dan kebangsaan yang cenderung mengarah pada perpecahan sosial.
Demi mengatasi persoalan tersebut, dibangunlah prinsip yang dapat membangkitkan kesadaran kolektif yang bersifat universal. Maka dikembangkanlah prinsip jamā’ah sebagai doktrin politik yang dibingkai dalam kerangka teologis. Prinsip ini mengajarkan, sebagaimana dinyatakan oleh Fazlur Rahman, bahwa “fanatisme dan perang sesama muslim adalah haram; dan bahwa penguasa negara, meskipun tidak becus dan bahkan melakukan kezaliman nyata, harus tetap dipatuhi.” Prinsip ini akhirnya menanamkan kesadaran bahwa tidak ada alasan apa pun untuk tidak patuh kepada penguasa. Abu al-Hasan al-Mawardi bahkan berkesimpulan bahwa taa’t kepada penguasa (ulū al-amr) adalah kewajiban syar’ī, yang hanya membenarkan untuk tidak mengikuti perintah-perintahnya yang tidak benar, tapi tidak membenarkan aksi pemberontakan terhadap kekuasaannya.
Selanjutnya, prinsip ini diperhalus menjadi kesepakatan untuk melawan kekacauan dan ketidaktertiban (anarkisme sosial-politik). Maka lahirlah prinsip yang menyatakan bahwa pemerintahan yang zalim adalah lebih baik daripada tidak ada pemerintahan sama sekali. Karenanya, menurut al-Māwardī, regulasi pemerintahan adalah wajib, demi agama (harasat al-dīn) dan politik (siyasat al-dunya).
Prakteknya, pemerintahan Umawiyyah telah menjalankan prinsip jamā’ah itu sebagai alat stabilisasi sosial dan politik, terutama dalam rangka menghadapi gerakan-gerakan oposisi, yang tak jarang dijadikan sebagai alat veto terhadap gerakan yang diserang sebagai gerakan pembangkangan terhadap konsensus sosial (fāraqa al-jamā’ah).[6]
Prinsip jama’ah itu selanjutnya dibakukan menjadi konsep ijma’, yang dijadikan sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Qur’an dan Hadits. Dari upaya-upaya konseptualisasi itulah, Syafi’i berhasil meletakkan pondasi bagi keilmuan ushul al-fiqh melalui kitab Al-Risalah, dengan membakukan empat sumber hukum Islam, yaitu: Al-Qur’an, Sunnah/Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
f.    Konsolidasi Madzhab
Perkembangan tersebut memberi pengaruh positif bagi kebangkitan kaum ulama dengan dikukuhkannya madzhab-madzhab fiqh Sunni merujuk pada otoritas empat imam, yaitu Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad ibn Hanbal. Perkembangan itu juga efektif memupus praktek-praktek ijtihad bebas sekaligus mempersempit celah , termasuk magi ambisi penguasa untuk melakukan standardisasi dan sentralisasi hukum Islam melalui jabatan Qadhi al-Qudhat. Sikap Syafi’i menjadi contoh ideal posisi `ulamā’ di hadapan pemerintah, untuk tidak terlibat dalam hubungan yang terlalu dekat dengan pemerintah. Terkait dengan ini, al-Syāfi’ī pernah menolak untuk menduduki jabatan qadhi al-qudhat yang ditawarkan oleh al-Ma’mūn pada awal kekuasaannya, yang berujung pada pengasingannya ke Mesir.
Namun hingga tahap perkembangan tersebut, Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah belum menjelma menjadi satu sistem madzhab. Pemikiran Islam masa itu masih terkotak-kotak dalam madzhab-madzhab kecil yang jumlahnya nyaris tak terbilang. Pada umumnya, madzhab pemikiran masa itu dapat berdiri dengan hanya mengacu pada satu kelompok pengajian yang terdiri dari satu guru dan sejumlah murid. Meskipun terdapat madzhab-madzhab besar, yang oleh al-Asy’arī disebut sebagai “ummahat al-firaq”,[7] namun fakta politik masa itu menyulitkan bagi terbentuknya satu madzhab yang mendominasi sebagai mayoritas tunggal. Hal ini terkait dengan perpecahan politik yang telah melahirkan dinasti-dinasti kecil yang jumlahnya juga nyaris tak terbilang. Masing-masing dinasti pada umumnya mempunyai madzhab tersendiri.
Fakta umum yang terjadi di lingkungan Sunni adalah peneguhan kekuatan politik atas dasar afiliasinya kepada madzhab fiqh. Dengan kata lain, kekuatan politik Sunni masa itu terpusat pada madzhab-madzhab fiqh, dan bukan pada madzhab kalam (teologi).
Momen kekuasaan madzhab Sunni pertama kali diraih oleh golongan Hanabilah yang keberhasilannya menggugurkan program mihnah, sekaligus meruntuhkan pengaruh Mu’tazilah dalam pemerintahan Abbasiyah pada masa Al-Mutawakkil. Golongan Hanabilah yang memperkenalkan diri dengan nama Ahl al-Sunnah wa al-Hadits menolak masuknya segala bentuk rasionalisme asing ke dalam Islam, termasuk segala bentuk pemikiran kalam dalam Islam.
Perkembangan Sunni selanjutnya beralih ke kaum Hanafi dimulai sejak kekuasaan Banu Buwaih yang meskipun merupakan penganut Syi’ah, namun dalam fiqh banyak menganut madzhab Hanafi. Kedudukan Hanafi semakin kuat setelah berkoalisi dengan kalam Maturidi pada awal pemerintah Banu Saljuk atas pengaruh dari wazir Saljūq yang bermazhab Haanafiyyah-Mātūrīdiyyah, yaitu al-Kundūrī.
Namun perkembangan yang memberi identitas tetap bagi madzhab Sunni adalah ketika paham Asy’ariyyah yang berafiliasi pada paham fiqh Syāfi’i berhasil menjadi paham resmi sejak Nizham al-Mulk menggantikan jabatan al-Kunduri. Kisah peralihan kekuasaan itu sendiri mengungkap realitas lain dari perkembangan Sunni dalam proses formulasinya, bahwa perbedaan antar madzhab dalam tubuh Sunni sudah sangat tajam. Konfrontasi yang paling tajam terjadi antara Syafi’iyyah-Asy’ariyyah di satu pihak; dan Hanafiyyah-Maturidiyah di lain pihak.
Dikisahkan bahwa pada masa kekuasan al-Kunduri, muncul larangan terhadap paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah. Sejumlah tokoh Syafi’iyyah-Asy’ariyyah bahkan pernah dipenjara dan disiksa karena perbedaan madzhab tersebut, seperti: al-Bayhaqī (w. 1066), al-Qusyayrī (w. 1072), dan al-Juwaynī (w. 1085).
Keadaan itu berbalik ketika Nizham al-Mulk berhasil menggulingkan al-Kunduri melalui perang sipil yang melibatkan kaum dari dua madzhab Sunni tersebut. Sejak itulah paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah diteguhkan dalam proses indoktrinasi secara besar-besaran, melalui Madrasah Nizhamiyyah yang fokus pada pendidikan paham Syafi’iyyah-Asy’ariyyah. Direktur pertama dari lembaga pendidikan itu adalah al-Juwainī, dengan program utama memasyarakatkan paham Syāfi’iyyah-Asy’ariyyah dengan nama “al-‘Aqidah al-Nizhamiyyah.


G. Resolusi Sunni
Realitas perpecahan itu semakin rumit jika ditarik dalam lingkup yang lebih luas, mencakup aliran-aliran dalam tasawuf dan sikap terhadap filsafat. Hal itulah yang harus dihadapi oleh Al-Ghazali. Dalam otobiografinya, Al-Ghazali menyatakan:
Ketahuilah bahwa perselisihan makhluk dalam hal agama dan kepercayaan, yang berlanjut dengan perselisihan ulama dalam madzhab-madzhab hingga menciptakan kelompok umat yang sangat banyak, telah menciptakan lautan yang amat dalam yang menenggelamkan mayoritas umat. Hanya sedikit dari mereka yang selamat, hanya saja setiap kelompok merasa dirinyalah yang selamat.
Hasil studinya atas empat kelompok besar dalam pemikiran Islam: Kalam, Bathiniyah, Filsafat, dan Tasawuf, membawanya pada kesimpulan bahwa masing-masing kelompok itu adalah jalan menuju kebenaran yang berbeda-beda, yang benar menurut porsinya masing-masing. Kebenaran yang utuh hanya dapat diperoleh jika empat cara pandang itu diletakkan dalam porsinya.
Berdasarkan hal tersebut, Ghazali merumuskan tiga tingkatan nalar berdasarkan porsinya masing-masing, yaitu:
1.      Nalar syar’i (al-‘aqliyyah al-syar’iyyah), yang digunakan untuk memaparkan sesederhana mungkin hukum-hukum fiqh dan usūlnya.
2.      Nalar falsafi (al-‘aqliyyah al-falsafiyyah), yang digunakan untuk memberi kerangka rasional bagi ajaran-ajaran nash .
3.      Nalar sufistik (al-‘aqliyyah al-shufiyyah), yang digunakan untuk mengungkap rahasia-rahasia agama, demi pencapaian pengetahuan yang hakiki (ma’rifah).
Inilah formula yang ditetapkan Ghazali dalam rangka memberikan jalan tengah yang damai antar berbagai corak keilmuan dan aliran pemikiran menjadi satu sistem madzhab yang utuh, yang lengkap dengan perangkat fiqh, kalam dan tasawufnya. Cara moderat itulah yang mengubah perselisihan madzhab-madzhab dalam satu pandangan bersama di bawah panji Ahl al-Sunnah. Demikianlah Ghazali memasukkan pesan-pesan sufistik dalam pembahasan-pembahasan kalamnya, memberikan bentuk syar’i bagi tasawwuf yang sebelumnya hanya berkutat pada masalah haqiqah (esoterik); memberi kerangka rasional filosofis bagi doktrin-doktrin hukum fiqh; memberi acuan teologis (doktrin kalām) bagi filsafat; dan akhirnya memberi ransangan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat doktriner yang hanya akan memperluas populasi muslim awam yang jauh dari ilmu.
Inilah wajah sesungguhnya dari ortodoksi Islam yang dibangun oleh al-Ghazālī, meminjam pola-pola yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh al-Syāfi’ī dan al-Asy’arī, hingga membentuk diri menjadi resolusi resmi dari paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.
Praktis, hanya paham-paham yang secara tegas dan aktif memisah diri dari mainstream perkembangan pemikiran Islam (fāraqa al-jamā’ah) yang tidak terakomodir dalam formula madzhab Ghazali. Dalam hal ini, kaum Syī’ah menjadi kelompok terbesar yang memisah diri secara ideologis, meskipun al-Ghazālī sendiri telah mengakomodir pandangan ta’limiyyah bathiniyyah yang dikembangkan oleh Syī’ah Isma’iliyyah. Sementara mayoritas terbesar dari umat Islam telah melebur dalam jama’ah al-sawad al-a’zham, sebagaimana dikehendaki oleh Sunnah Nabi SAW.
H.   Perkembangan dan Respons
Sepeninggal al-Ghazālī, diiringi dengan keruntuhan Banu Saljuq dan melemahnya ‘Abbasiyyah, perkembangan pemikiran Islam di wilayah ‘Abbāsiyyah seakan mengalami anti-klimaks. Tasawwuf yang diagungkan al-Ghazālī sebagai puncak pencapaian pengetahuan, dan menjadi media utama dalam menjembatani (moderasi) berbagai corak pemikiran dalam Islam, justru berkembang ke arah yang ekstrem menjadi tarekat-tarekat yang tumbuh subur terutama di lingkungan bangsa Turki, penduduk Yaman, dan Afrika. Perkembangan ini mengubah wajah tasawwuf dari bentuknya yang semula sebagai ekspresi kualitas kedalaman pengetahuan individual dalam beragama; menjadi tempat pelatihan spiritual secara massal, formal, dan terstruktur. Tasawwuf yang pada mulanya menjadi media seseorang berhubungan langsung dengan Allah, lewat mahabbah dan ma’rifah, berubah menjadi lembaga kultus terhadap individu guru tarekat. Suatu bentuk perkembangan yang tak dibenarkan dalam ortodoksi Sunni yang awal, yang menjadi alasan kaum Hanābilah untuk melarang sama sekali segala bentuk praktek tasawwuf.
Bentuk lain dari perkembangan tasawwuf adalah munculnya tokoh-tokoh teosofi, yang berupaya mengekspresikan pengalaman-pengalaman subjektif tasawwuf ke dalam paparan-paparan filosofik. Sesuatu yang sejak semula telah mendapat reaksi keras dari tasawwuf ortodoks, pimpinan al-Junayd al-Baghdādī. Inilah yang dimunculkan kembali oleh Ibn ‘Arabī, dengan menebarkan paham wahdat al-wujūd yang menjadi ancaman ganda terhadap paham tasawwuf Sunni dan sistem teologinya tentang tawhīd, sebagaimana diteguhkan al-Ghazālī.
Semetara filsafat seakan mengalami trauma sejak serangan kritis al-Ghazālī atas sejumlah kasus pemikirannya yang inkonsisten. Filsafat nyaris tak pernah muncul dalam tradisi Sunni, kecuali Ibn Rusyd yang hidup di luar wilayah ‘Abbāsiyyah. Hal ini seakan menegaskan kenyataan awal bahwa filsafat memang tidak cocok dengan budaya dan tradisi berpikir kaum `ulamā’. Sehingga Tahāfut al-Falāsifah seakan hanya dijadikan alibi bagi keengganan kaum Sunni untuk mengembangkan filsafat. Karena pada kenyataannya, filsafat tetap hidup dalam tradisi Syī’ah (dan teosofi), meskipun tidak sebesar capaian yang dihasilkan oleh dua pendahulu mereka: Ibn Sīnā dan al-Fārābī.
Perkembangan yang sama sekali baru dalam tradisi Sunni pasca al-Ghazāli adalah munculnya reaksi internal dari kaum Hanābilah, melalui Ibn Taymiyah (w. 728/1328). Ibn Taymiyyah ingin meneguhkan kembali paham Ahl al-Hadits yang dibangun oleh Ibn Hanbal atas nama Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Untuk itu, ia menulis sebuah risalah yang diberi judul “al-Aqidah al-Wasithiyyah” yang menyatakan klaim resmi atas akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Paham itu secara terang-terangan membongkar klaim Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah yang disandang kubu al-Ghazālī, dan sama sekali tidak memberi toleransi kepada gerakan tasawwuf dan kalām.
Pada era modern, paham ini dikembangkan lebih jauh oleh gerakan Wahabi dengan nama Sunni Salaf (madzhab al-Salaf). Nisbat kepada Salaf ini seakan ingin mempertegas bahwa ortodoksi Sunni yang dibangun oleh al-Ghazālī, melalui prinsip-prinsip Syāfi’iyyah dan Asy’ariyyah, bukanlah wakil resmi dari paham Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Dengan kata lain Sunni versi al-Ghazālī atau yang dapat juga disebut Sunni-Khalaf, adalah gerakan sempalan (bid’ah) dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah versi Hanabilah.
Terlepas dari berbagai perkembangan tersebut, watak moderat menjadi warisan sangat berharga dari tradisi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang dibangun dalam sejarah panjang ulama menghadapi berbagai situasi perkembangan umat Islam. Watak itulah yang perlu dijaga untuk memelihara agar tidak terjebak dalam kutub-kutub ekstrem tertentu; juga tanpa mengabaikan potensi-potensi perbedaan yang niscaya terjadi.





[1]Kata madzhab berarti: al-mu’taqad (pegangan), al-thariqah (cara), al-ashl (dasar). Adapun kata kerjanya (dzahaba), berarti: memandang suatu permasalahan dengan cara-pandang tertentu (ra’a fi al-ma’alati dzlika al-ra’y). Louis Ma’luf, Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: al-Maktabah al-Katsulikiyyah, 1956; Ibn Manzhur al-Ruwaifa’I, Lisan al-‘Arab, jilid 1, Beirut: Dar Shadir, 1414
[2] Bagi Ahl al-Hadits, rujukan dalam masalah kalam adalah Ahmad ibn Hanbal. Namun nama ini tidak disebutkan sebagai tokoh rujukan dalam kalam, karena Ahmad ibn Hanbal sendiri merupakan tokoh utama yang menolak adanya disiplin ilmu kalam dalam Islam. Ahmad ibn Taimiyah dan Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhāb, Majmu’at al-Tauhid (26 risālah), Beirut: Dār al-Fikr, t.t.; Muhammad Shalih al-‘Utsaimin, Syarh al-Aqidah al-Wāsithiyyah li Ibn Taimiyah, Riyad dan Jeddah: Dār Ibn al-Jawzī, 1416 H, cet. ke-3
[3] Lihat: Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Cambridge: The university Press, 1988
[4] Lihat: Ghazali, Abu Hamid al-, Ihya’ Ulum al-Din, t.t.
[5] Jawziyyah, Ibn al-Qayyim al-, Syifā’ al-‘Alīl, 1988
[6] Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam, 1974
[7]Abū al-Hasan al-Asy’arī, Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mushallīn, 1954

Sabtu, 19 April 2014

moralitas: bentuk-bentuk pemikiran moral (deontologi, teleologi, prima facie)

PEMIKIRAN MORAL

Pemikiran moral, menurut Holmes, hanya mungkin muncul dari konsep baik-buruk, dan benar-salah. Konsep pertama memunculkan pandangan bahwa moralitas bersifat kondisional dan sangat terkait dengan (relative to) lingkungan sosial dan budaya, tempat moralitas itu lahir. Konsep kedua memunculkan pandangan kategorikal tentang benar salah menurut tuntunan hukum yang objektif.[1] 
Moralitas sendiri dapat dibedakan dalam dua watak. Pertama, moralitas yang didasarkan pada aturan-aturan, prinsip-prinsip dan tuntunan-tuntunan yang diterima dalam paket jadi. Ini dikenal sebagai “legalisme moral”, yaitu pemikiran moral yang bertumpu pada hukum-hukum baku, dan tak dapat diganggu gugat. Pendekatan yang legalistik ini menegakkan hukum-hukum moralnya berdasarkan perilaku (conduct), terlepas dari unsur-unsur bawaan (character) yang melatarbelakangi tindakan pelaku, situasi dan lingkungannya. Satu-satunya pegangan adalah bahwa setiap tindakan mempunyai konsekuensi-konsekuensi hukum. Segala sesuatu diukur dalam standar benar (right) atau salah (wrong) menurut ketentuan-ketentuan hukum yang cenderung absolutistik dan kategorikal (mutlak).
 Kedua, ketentuan-ketentuan moral yang didasarkan pada interpretasi terhadap situasi-situasi yang melatarbelakangi suatu tindakan. Paham yang dikenal juga sebagai aliran “partikularisme moral” ini, lazimnya mengaitkan ukuran-ukuran moralnya secara relatif, berdasarkan situasi-situasi bawaan pelaku (character). Pertimbangan yang menjadi standar adalah pertimbangan baik (good) atau buruk (bad), menurut motif, konteks lingkungan, dan tujuan perbuatan, dengan kecenderungan kuat relativistik dan kondisional.
Namun demikian, baik konsep yang legalistik maupun partikularistik, gagal memaknai moralitas: yang di satu pihak, sebagai kesadaran; dan di pihak lain, sebagai sistem.[2] Sebagai respon terhadap masalah itu, muncul upaya-upaya reflektif memberikan dasar-dasar filosofis bagi moralitas, yang dapat memberikan standar-standar prinsipil bagi kasus-kasus moral yang spesifik.
Dalam kaitan itu, muncullah perbedaan pendapat, menyangkut: apakah moralitas itu didasarkan pada prinsip benar-salah, atau baik-buruk, atau kedua-duanya? Paling tidak, ada tiga konsep yang mengemuka menyangkut masalah ini, yang dirumuskan oleh Robert L. Holmes sebagai bahasa moral:

Bahasa Moral
Konsep Deontik

Konsep Nilai
Konsep Topik
Benar-Salah, Harus-Tidak harus, Wajib-Haram, dst.

Bagus-Jelek, Baik-Buruk, Suka-tidak suka, dst.
Hak, Kewajiban, Tuntutan, Keadilan, dst

Pada prinsipnya, bahasa-bahasa moral ini merupakan kelanjutan dari dua aliran moral di atas, dengan tambahan alternatif: term konseptual (entitlement concepts).  Aliran legalistik menggunakan term “deontik”; aliran partikularistik menggunakan term “nilai” (value). Sedangkan alternatif konseptual –oleh Robert L. Holmes—diandaikan dapat menengahi paradoks-paradoks terminologis yang muncul antara konsep deontik dan konsep nilai. Karena sesuatu yang bernilai bagus, belum tentu benar dalam konsep deontik; demikian sebaliknya.

Dilihat dari konsep terminologis yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan moral, ada dua teori yang mengemuka: (1) teori benar-salah (deontic term); dan (2) teori baik-buruk (value term). Teori pertama memandang bahwa apa yang menjadi standar moralitas adalah apa yang dinilai benar oleh tuntunan normatif (prescriptive judgement) suatu lingkup masyarakat, baik secara sosial, budaya, agama dan politik. Cinta tanah air adalah standar moral yang dipegang dalam paham nasionalisme; berjuang untuk agama adalah tuntunan normatif yang benar menurut agama; demikian seterusnya. Teori kebenaran itu tidak dapat diganggu gugat oleh pertimbangan-pertimbangan baik atau buruk. Betapapun buruk dampak yang mungkin ditimbulkan oleh paham patriotisme kebangsaan, seperti rasisme dan perang antar-bangsa, tetap tidak menyurutkan nilai kebenaran moral, dari sudut pandang politik nasionalistik. Dasar pandangan inilah yang digunakan oleh bentuk pemikiran moral deontologis, seperti yang dibicarakan di bawah.
Teori kedua --baik-buruk-- memandang bahwa moralitas harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan evaluatif. Suatu penilaian moral harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan baik-buruk. Sesuatu yang benar menurut tuntunan norma tertentu, belum tentu benar secara moral, jika tidak bernilai baik. Menurut teori ini, patriotisme adakalanya bernilai negatif (buruk), jika dipandang tidak baik. Norma jihad, harus dikesampingkan demi pertimbangan moral (teori baik-buruk), jika hanya mendatangkan kemudlaratan. Singkatnya, teori ini mengedepankan pertimbangan evaluatif terhadap karakter suatu perbuatan (value judgement), daripada tuntunan normatifnya. Teori ini disebut juga sebagai teori aksiologi, yang pada tingkatnya yang keras (stong), menjadi dasar pemikiran moral teleologis –sebagaimana akan dibicarakan.
Adapun dilihat dari seberapa besar konsekuensi suatu perbuatan mempengaruhi pertimbangan moral, dapat dipilah dalam dua teori besar:
1.         Teori Konsekuensialisme: kebenaran moral ditentukan dari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu tindakan. Artinya, nilai benar-salah (deontic) ditentukan oleh baik-buruk (value) konsekuensi yang timbul. Paham ini menganjurkan untuk memilih perbuatan yang mempunyai konsekuensi lebih baik daripada yang lain. Teori ini identik dengan paham teleologis –sebagaimana akan dibicarakan nanti.
2.    Teori Nonkonsekuensialisme, terbagi dua kecenderungan:
a.       Nonkonsekuensialisme Keras atau ekstrem (strong): Konsekuensi suatu tindakan tidak ada hubungannya sama sekali dengan nilai moral suatu perbuatan. Teori ini identik dengan paham strong deontologism.
b.      Nonkonsekuensialisme Lunak atau moderat (weak): Nilai moral dapat diukur dari konsekuensi suatu tindakan, tapi tidak menentukan.


            Menyangkut hakikat dan konekuensinya, ada tiga bentuk pemikiran moral: (1) Deontologisme; (2) Teleologisme; dan (3) Intuisionisme (prima facie duties).

1. Deontologi: Hakikat dan Konsekuensi Nilai Moral
Deontologi adalah bentuk pemikiran moral yang memandang bahwa nilai moral suatu perbuatan terletak pada perbuatan itu sendiri (khair li dzâtih). Bentuk pemikiran ini mendasarkan penilaian moralnya pada konsep “benar atau salah”, bukan “baik atau buruk”. Nilai “benar” itu sendiri didasarkan pada sistem nilai (virtue) yang dianut. Kebenaran moral adalah apa yang menjadi tuntunan moral (prescriptive judjement). Artinya apapun yang dipandang benar menurut suatu sistem moral (virtue), maka itulah hakikat nilai moral. Konsep terminologis benar-salah, ditopang oleh logika keharusan atau kemestian (ought to). Asas tuntunan moral yang digunakan dalam teori ini, dengan demikian, menolak penilaian evaluatif tentang apa yang baik dan buruk. Baik dan buruk tidak menjadi dasar nilai moral. Karena yang baik belum tentu benar menurut tuntunan moral, sebagaimana telah disinggung di atas.
Namun demikian, bukan berarti bentuk pemikiran moral deontologis ini menolak nilai baik dan buruk, karena menurut paham ini, pada hakikatnya, apa pun yang dituntunkan oleh suatu sistem nilai (virtue), pasti mengandung kebaikan (manfaat). Para pelaku moral (individu), dipandang, tidak dalam posisi menentukan sistem nilai. Mereka tak lebih dari objek moral yang dituntut, dianjurkan dan diharuskan mengikuti hukum-hukum moral yang telah ditetapkan.
Aplikasi pandangan ini, akan dengan mudah ditemukan dalam tuntunan-tuntunan agama. Melakukan kegiatan puasa atau shalat adalah kebenaran agamis, yang kebenaran nilainya tak memerlukan pembenaran evaluatif tentang baik dan buruk. Karena secara imani (prescriptive judgement), kebenaran itu sudah pasti mengandung kebaikan. Dalam kasus yang lebih tegas, perbuatan “menepati janji” harus dilakukan, bukan karena ia baik menurut pertimbangan evaluatif, tapi ia harus dilakukan karena hal itu sudah menjadi tuntunan hukum agama. Moralitas agama dalam perspektif ini, adalah melaksanakan apa yang benar menurut agama. Inilah yang disebut oleh filosof moral sebagai teori “Perintah Tuhan”.
Aplikasi bentuk pamikiran moral ini tidak hanya terbatas dalam wilayah agama; tapi juga berlaku umum pada semua wilayah hukum. Oleh karena itu, pada tingkat ini, bentuk pemikiran deontologis dapat dipertautkan dengan logika legalisme moral –sebagaimana telah diungkap di atas. Letak korelasinya adalah pada pandangan bahwa semua ketentuan hukum harus diterapkan sebagai standar moral, terlepas dari pertimbangan baik-buruknya sesuatu itu bagi individu-individu pelaksananya. Hanya saja, jika pada hukum agama peletak dasar moralnya adalah Tuhan (Syâri’) --melalui formulasi hukum agen-agen agama (ulama, gereja, dsb); maka pada hukum positiv (non-ilahi), peletak dasar moralnya (undang-undang) adalah seorang diktator dalam negara otokratik, atau kepala suku pada masyarakat adat, atau para legislator pada negara demokratik. Pada tingkat ini pula, pemikiran deontologis mempunyai konsekuensi yang (1) absolutistik (presciptive judgment); (2) tidak memberi ruang bagi pemahaman-pemahaman dan penafsiran-penafsiran alternatif (evaluating judgment); atau bersifat (3) legalistik-formalistik (kaku); yang dengan demikian, menjadi (4) universalistik: berlaku untuk semua, tanpa kecuali.
Paham deontologisme terbagi pada dua aliran. Pertama, Deontologisme yang Keras (strong deontologism). Aliran ini bersikukuh pada dasar pemikiran di atas, bahwa apa yang disebut benar, salah, wajib, dan haram, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah baik atau buruk. Aliran ini adalah penganut ekstrem dari “konsep deontik” –sebagaimana telah disinggung di atas; dan menolak “konsep nilai” (value of good or wrong). Penganut paham ini biasanya adalah kaum agamawan, yang memandang bahwa moralitas adalah sepenuhnya urusan Tuhan. Menurut mereka, Tuhan memang memerintahkan untuk berbuat baik, tapi perintah itu sendiri tidak ada kaitannya dengan masalah baik atau buruk. Berbuat baik adalah sepenuhnya wujud dari kepatuhan pada perintah Tuhan. Kepatuhan adalah benar, dianjurkan dan diharuskan secara moral, bukan masalah baik atau buruk. Hanya saja, secara ‘teologis’, aliran ini meyakini apa pun yang benar  menurut sistem nilai (agama dan hukum), sudah pasti baik dan akan mendatangkan kebaikan. Tokoh terdepan dari aliran ini adalah Immanuel Kant.[3]
Dalam kaitan ini, Immanuel Kant menyatakan: “suatu tindakan  bisa secara moral baik atau buruk, hanya jika dilakukan secara bebas dan berasal dari penghargaan [kepatuhan] terhadap hukum moral, bukan berasal dari keinginan untuk memenuhi hasrat kita akan kebahagiaan [kebaikan].”
Dalam pemikiran moral Islam, kecenderungan yang dikenal dengan “non-konsekuensialis” ini, juga dapat ditemukan dalam etika Ibn Miskwaih. Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa: “sesuatu itu benilai baik apabila dilakukan karena perbuatan itu sendiri, bukan karena alasan kemanfaatan dan kegunaan atau kebaikan lain yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan itu.”
Kedua, Deontologisme Lunak (weak deontologism). Menurut aliran deontologis yang moderat ini, nilai baik dan buruk dapat dijadikan ukuran bagi kebenaran moral, tapi tidak dalam posisi yang menentukan. Artinya, aliran ini masih memberikan ruang bagi kegiatan evaluasi terhadap suatu perbuatan, dari aspek baik dan buruknya, baik pada tingkat motif (niat), perbuatan itu sendiri, maupun pada konsekuensinya. Menurut paham ini, konsekuensi suatu perbuatan dapat menjadi pertimbangan yang bijak dalam memilih suatu perbuatan, yaitu perbuatan yang memberikan konsekuensi lebih baik daripada alternatif yang lain, sebagaimana dianjurkan dalam teori konsekuensialime. Sebaliknya, sebuah tindakan moral dapat saja diabaikan jika ternyata mendatangkan konsekuensi mudlarat lebih besar daripada manfaatnya. Namun demikian, acuan dasar moralitasnya tetap pada norma deontik (benar dan salah), dengan menjadikan pertimbangan nilai baik-buruk sebagai alternatif pelengkap.
Contohnya, angkat senjata melawan penindasan bersenjata mungkin benar menurut tuntunan moral, tapi jika mudlarat yang mungkin ditimbulkannya lebih besar dari manfaat yang mungkin diraih, maka angkat senjata itu lebih baik diabaikan.  Tapi karena “perlawanan terhadap penindasan” tetap merupakan tuntunan moral, maka harus ada alternatif tindakan moral lain yang dipandang mempunyai konsekuensi yang lebih bermanfaat. Artinya, meskipun konsekuensi dapat dijadikan pertimbangan moral, tapi pertimbangan terhadap konsekuensi itu tidak dapat dijadikan dasar dalam melakukan atau meggugurkan sebuah tuntunan moral. Tuntunan moral tetap tak tergoyahkan, meskipun harus disikapi dengan mencari interpretasi alternatif, berdasarkan pertimbangan baik-buruknya konsekuensi suatu tindakan (evaluating judgement).  Kasus ibadah mahdlah dalam Islam, mungkin dapat digambarkan dalam konsep “rukhshah”.
Kebanyakan deontologis menganut aliran yang lunak ini, yang kemudian berkembang dalam paham “deontologis-konsekuensialis”. Paham ini mempunyai tiga tipe pertimbangan: (1) konsekuensi dari perbuatan; (2) kebenaran moral adalah apa yang diterima sebagai sistem moral (virtue); dan  (3) kebenaran adalah apa secara niscaya diperbuat dan secara sadar dapat dipertanggungjawabkan.

2. Teleologi: Hakikat dan Konsekuensi Nilai Moralnya
Teleologi adalah “bentuk pemikiran moral yang menerapkan nilai moral suatu perbuatan berdasarkan konsep baik-buruk, yang ditentukan sepenuhnya oleh konsekuensi dari perbuatan itu.” Paham teleologi merupakan bentuk pemikiran moral aksiologis yang berwatak konsekuensialis. Aksiologi adalah teori yang menyatakan kebenaran moral tergantung sepenuhnya pada nilai baik dan buruk (evaluative judgment). Teori ini memandang bahwa suatu tindakan adalah benar, jika dan hanya jika, paling tidak, nilai manfaatnya lebih besar daripada nilai mudlaratnya, baik pada perbuatan itu sendiri, atau pada konsekuensinya, atau kombinasi dari keduanya.[4] Bagian teori aksiologi yang menyatakan bahwa “nilai baik suatu perbuatan tergantung pada konsekuensinya, bukan pada nilai perbuatan itu sendiri”, adalah paham teleologi.
Dalam bentuk pemikiran teleologis, sesuatu tindakan dinyatakan benar secara moral, jika tindakan itu --paling tidak—memberikan manfaat (kebaikan) lebih besar daripada mudlarat (keburukan). Teori ini mengedepankan asas baik-buruk, untuk menetapkan kebenaran moral. Sesuatu dinilai benar secara moral, jika baik menurut pertimbangan-pertimbangan evaluatif. Teori ini mengukur kebenaran dari konsekuensi baik-buruk suatu perbuatan.
Bentuk pemikiran ini banyak diinisiasikan pada Aristoteles, meskipun ia juga mempunyai kecenderungan deontologis dalam praktek penilaian moralnya, dan mengakui intuisi sebagai sumber moral (intuisionis). Menurut Aristoteles, yang membuat kehidupan manusia bermutu, harus dicari dengan bertitik tolak pada realitas manusia sendiri (karakter pelaku), bukan pada ide tentang yang baik pada suatu perbuatan.
Ada dua problem moral yang dihadapi bentuk pemikiran teleologis ini: (1) siapa/apa yang menjadi standar ukuran etis? (2) Bagaimana jika suatu prbuatan mengandung konsekuensi kebaikan dan keburukan sekaligus?
Menyangkut problem pertama (standar etika), teori ini terbagi pada dua tipe etika: Etika Mikro, dan Etika Makro. Etika Mikro memandang bahwa: “kebenaran moral ditentukan oleh nilai konsekuensi (manfaat) yang dirasakan oleh orang per-orang.” Wakil paling jelas dari dasar etika ini, adalah etika egoisme, yang memandang bahwa: “suatu tindakan benar, jika mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi diri pelakunya.” Diri pelaku dapat saja berupa anggota keluarga, anggota suku, warga negara, atau umat suatu agama. Etika mikro ini mengedepankan kebaikan bagi setiap individu, bukan bagi lembaga. Ini mengandaikan bahwa suatu organisasi masyarakat, agama, politik, ekonomi, sudah dapat dikatakan benar, jika dapat memenuhi kepentingan anggotanya. Jika dasar etikanya menyangkut seluruh individu dalam keanggotaan masyarakat, maka etika mikro ini, terproyeksikan dalam etika utilitarianisme –yaitu yang bersifat personal, bukan totalitas organik kelembagaan.
Sedangkan Etika Makro, memandang bahwa “kebenaran moral ditentukan oleh manfaat yang dirasakan oleh suatu lembaga: keluarga, suku, masyarakat, negara atau agama, bukan satuan-satuan anggotanya.” Etika ini lazimnya menggunakan cara pandangan utilitarianisme –yaitu meletakkan kepentingan yang lebih besar (makro) di atas kepentingan pribadi (mikro). “Suatu tindakan benar, jika mendatang manfaat sebesar-besarnya dan seluas-luasnya bagi suatu kolektivitas”. Etika ini biasanya menjadi dasar moral bagi gagasan solidaritas kesukuan, loyalitas partisan, patriotisme nasionalistik, dan fanatisme keagamaan. Kepentingan pribadi anggotanya tidak menjadi pertimbangan utama.  Ini mengandaikan bahwa suatu tindakan itu benar, jika dapat mendatangkan kebaikan bagi kepentingan lembaga: sosial, budaya, politik dan keagamaan.
Meskipun etika mikro menggunakan perspektif egoisme dan etika makro menggunakan perspektif utilitarianisme, namun tidak berarti hal itu berlaku secara eksklusif (tertutup). Karena dapat saja etika mikro menghasilkan cita-cita utilitarianistik, yaitu ketika pemenuhan kepentingan pribadi telah merata, yang dengan sendirinya akan mendatangkan konsekuensi baik bagi anggota-anggota masyarakat lainnya. Semakin luas pemenuhan kepentingan (kebaikan) pribadi dicapai, maka semakin besar pula manfaat yang akan dirasakan oleh suatu lembaga. Etika epicureanisme yang menggunakan etika egoisme, umpamanya, memandang bahwa persahabatan dan kolektivitas adalah pra-syarat bagi pemenuhan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi tak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan etika kolektif utilitarianistik yang diajarkan dalam etika makrro.
Demikian pula sebaliknya, Etika Makro dapat saja menciptakan kebaikan bagi kepentingan-kepentingan egoistik (mikro). Logikanya, semakin makmur suatu negara, semakin besar pula kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh warganya, orang per-orang. Lebih jauh, cita-cita utilitarianistik dalam etika makro, tak mungkin tercapai tanpa memperhatikan kepentingan personal egoistik yang diajarkan dalam etika mikro.
Problem kedua: bagaimana jika suatu perbuatan menghasilkan konsekuensi baik dan buruk sekaligus? Menonton film baik bagi relaksasi, tapi juga buruk dari sisi pemborosan waktu. Berobat ke dokter baik bagi kesehatan, tidak buruk bagi keuangan. Membeli makanan dan pakaian, baik  bagi pemenuhan kebutuhan pokok, tapi tidak baik dari sisi keharusan membayar pajak dari belanja itu. Aborsi juga baik bagi pertimbangan rasional menghindari ketidakpastian masa depan anak yang dikandung; tapi tidak baik bagi norma agama. Dalam kasus-kasus seperti ini, bentuk pemikiran teleologis ini memandang bahwa yang benar secara moral  adalah tindakan yang dapat mendatangkan kebaikan (manfaat) lebih besar daripada alternatif tindakan lain yang mempunyai keburukan (mudlarat) lebih besar. Contohnya: membeli makanan lebih besar manfaatnya, meskipun harus mengeluarkan biaya, dari menahan lapar, yang mengandung mudlarat lebih besar daripada manfaat penghematannya.
Konsekuensi moral dari paham ini adalah munculnya pandangan yang relativistik, atau kontekstualistik dan kondisional, subjektivistik, dan pragmatis.

3. Intuisionisme (Prima Facie Duties): Hakikat dan Konsekuensi Moralnya
            Bentuk pemikiran intusionisme, pada awalnya, lahir sebagai jawaban atas problem dasar pemikiran moral menyangkut logika yang digunakan. Jika diletakkan dalam rumusan silogistik (premis mayor, premis minor dan kesimpulan), maka baik bentuk pemikiran deontologis maupun teleologis, tidak pernah menjelaskan bagaimana proses terciptanya premis mayor yang menjadi dasar dari bangunan silogistik selanjutnya. Contohnya:
Premis Mayor         : Meraih kebahagiaan adalah benar/baik secara moral
Premis Minor         : Memenuhi kebutuhan mendatangkan kebahagiaan
Kesimpulan                        :Setiap orang harus/sebaiknya memenuhi kebutuhannya
Asal usul logis dari penilaian (premis mayor) deontologis atau teleologis bahwa “meraih kebahagiaan adalah benar atau baik”, tidak pernah dibicarakan. Keduanya muncul secara tiba-tiba (aksiomatik). Apapun yang dianggap benar/baik atau salah/buruk, akan diterima sebagai prinsip faktual tentang benar/baik atau salah/buruk. Apakah ada cara untuk membuktikan validitas penilaian moral itu (premis mayor)?  Bagaimana cara mendapatkan prinsip faktual itu?
Menurut pandangan naturalistik, apa yang dinilai sebagai “benar” atau “baik”, merupakan prinsip faktual yang dapat dibuktikan secara empirik, karena menurut pandangan etika naturalisme, dunia empirik pada dirinya menyimpan fakta-fakta moral. Apa yang  dilihat sebagai benar atau baik adalah fakta yang empirik.
Bentuk pemikiran intuisionisme menolak pandangan naturalistik itu. G. E. Moore –salah satu tokoh utama intuisionisme—mengisyaratkan bahwa: sebuah proposisi silogistik tidak dapat dibuktikan secara empirik, tapi hanya dapat dirasakan secara intuitif.[5] John Stuart Mill –meskipun tak menginisiasikan dirinya pada paham ini, mengatakan bahwa: “ciri umum dari premis pertama dari pengetahuan kita adalah tidak dapat dibuktikan dengan nalar, sebagaimana halnya kita tidak dapat membuktikan prinsip-prinsip awal dari perbuatan kita.”
Pandangan yang lebih definitif menyatakan bahwa prinsip-prinsip moral akan terbukti dengan sendirinya (self-evident intuition). Validiltas dan falsitasnya akan terbukti dengan memahaminya secara intuitif. Belakangan, W. D. Ross menyatakan bahwa ada prinsip-prinsip yang dapat terbukti dengan sendirinya (intuitif), seperti: (1) menyatakan kebenaran; (2) menepati janji; (3) memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat; (4) meraih kebahagiaan; (5) berbuat baik kepada orang lain; (6) berbuat baik kepada diri sendiri; (7) tidak boleh menyakiti orang lain. Inilah yang disebut oleh Ross sebagai “prima facie duties”
Prinsip-prinsip atau tugas-tugas (duties) itu, merupakan standar moral yang harus dilakukan, jika tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan moral lain yang dapat diikuti. Pertimbangan-pertimbangan moral lain, atau yang diistilahkan sebagai “actual duties”, adalah acuan-acuan moral yang berlaku, baik berupa pertimbangan kewajiban deontologis, ataupun kepentingan teleologis. Tugas-tugas prima facie merupakan prinsip-prinsip moral yang intuitif (self-evident). Prinsip-prinsip itu tidak memberikan acuan-acuan khusus tentang apa yang harus dikerjakan. Makanya, bentuk pemikiran ini tidak pernah memperkenalkan aturan-aturan spesifik dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Suatu perbuatan dipandang benar/baik, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip prima facie, seperti yang di antaranya telah disebutkan di atas.
Lebih jauh, prima facie duties, dicanangkan sebagai penengah terhadap kebuntukan moral yang dihadapi oleh dua bentuk pemikiran terdahulu, yaitu dalam situasi-situasi ketika terjadi bentukan antara asas manfaat/kepentingan (teleologis) dengan asas normatif/kewajiban (deontologis). Dalam situasi inilah, bentuk pemikiran intuitif memberikan prinsip-prinsip dasar (prima facie) tentang kebenaran (truth). Bentuk prima facie juga menawarkan konsep baik-buruk –sebagaimana pada pemikiran teleologis. Contohnya, jika seekor serigala bertanya: “di mana lokasi seekor domba?” Ada dua jawaban yang tersedia: (1) berkata jujur kepada serigala, dengan konsekuensi membiarkan domba itu dimangsa; atau (2) berkata bohong, dengan pertimbangan menyelamatkan domba. Pemikiran intuisionisme tidak merekomendasikan keduanya, karena sama-sama melanggar prinsip-prinsip moral prima facie. Satu-satunya pilihan adalah tidak menjawab, sebagai sikap moral yang paling baik.
Pemikiran prima facie juga dikemukakan oleh sejumlah filosof agama, seperti William Alston. Menurut Alston, konsep prima facie pada hakikatnya menjadi isyarat inti yang terkandung dalam ajaran agama; sebagaimana moralitas intuisionis juga memungkinkan agama untuk mengembangkan spiritualisme pluralistik.[6]
Dalam pemikiran etika Islam, wakil yang menonjol dari kecenderungan yang intuisionistik ini adalah Raghib Isfahani, meskipun pada tingkat tertentu, ia juga mempunyai kecenderungan naturalistik. Bahkan, menurut George F. Hourani, dasar pemikiran etika rasionalisme Islam sepadan dengan pemikiran moral intuisionist ini.
Konsekuensi dari pemikiran moral ini adalah bahwa munculnya pandangan yang: (1) relativistik, karena tidak memberikan acuan yang pasti tentang apa yang harus diperbuat. Semuanya tergantung pada pemahaman dan interpretasi intuitif yang sangat terbuka. (2) pluralistik, karena ada beragam prinsip yang direkomendasikan. Akibat bawaannya, acuan moral ini menjadi terlalu toleran dan permisif. (3) subjektif, karena untuk dapat memahaminya, harus dilakukan melakukannya terlebih dahulu, sebelum terbukti benar/baik. (4) nonkonsekuensialis, karena prinsipnya didasarkan pada landasan yang tuntunan intuitif.
Konsekuensi-konsekuensi moralistik ini pada gilirannya akan memunculkan kerancuan-kerancuan menyangkut ketidakpastian dasar pertimbangan moralnya, karena mencampuradukkan antara konsep legalistik dan partikularistik; nilai benar-salah (value term) dan baik-buruk (deontik); dan antara teleologi dan deontologi. Subjek moralnya juga tidak jelas, apakah mengacu pada etika mikro atau makro; egoistik atau utilitarinistik. Terakhir, model pemikiran ini juga tidak memberikan acuan, jika terjadi kontradiksi-internal antar prinsip-prinsip prima facienya sendiri.

Ketiga bentuk pemikiran moral di atas, pada hakikatnya, ‘hanya’ berbeda pada tingkat interpretasinya terhadap moralitas. Karena pada tingkat lapangan, ketiga-tiga saling mengakui:
1.      Deontologisme yang menekankan nilai benar-salah menurut ketentuan hukum (syara’ atau undang-undang), pada hakikatnya mengakui nilai baik-buruk (konsekuensi teleologis) sebagai bagian yang inheren dalam tuntunan moral deontologis. Bahwa hukum deontik tidak mungkin memerintahkan atau menganjurkan sesuatu yang buruk.
2.      Teleologisme yang menekankan konsekuensi baik-buruk suatu perbuatan, pada hakikatnya, mengakui nilai benar-salah sebagai karakter bawaan dari moralitas teleologis. Bahwa apa yang “baik” sudah pasti “benar”.
3.      Intuisionisme yang menekankan prinsip non-empirik prima facie, pada hakikatnya merupakan pengakuan kompromistik terhadap moralitas deontologis dan teleologis sekaligus. Karena prinsip-prinsip prima facie itu, tidak mungkin melanggar asas-asas kewajiban moral (deontologis) dan kepentingan moral (teleologis).






[1]Robert L. Holmes, Basic Moral Philosophy, (1998)
[2]Dua syarat pra-kondisional (more conscious and systematic) itu mengikuti pemikiran moral yang dikemukakan oleh John Dewey.
[3]Howard J. Curzer, Ethical Theory and Moral Problems, (1999)
[4] Berdasarkan rumusan ini, ada yang berpendapat bahwa pemikiran deontologis yang lunak merupakan pecahan dari pemikiran aksiologi; tapi asumsi ini mengandung kelemahan prinsipil, bahwa yang aksiologis lebih menitikberatkan pada unsur ekstrinsik perbuatan –yaitu konsekuensi; sedangkan deontologis, pada faktor instrinsik perbuatan (khair li dzâtihî).
[5] Ibid., h. 184
[6]William J. Wainwright, Philosophy of Religion,  (1999)