Sabtu, 19 April 2014

moralitas: bentuk-bentuk pemikiran moral (deontologi, teleologi, prima facie)

PEMIKIRAN MORAL

Pemikiran moral, menurut Holmes, hanya mungkin muncul dari konsep baik-buruk, dan benar-salah. Konsep pertama memunculkan pandangan bahwa moralitas bersifat kondisional dan sangat terkait dengan (relative to) lingkungan sosial dan budaya, tempat moralitas itu lahir. Konsep kedua memunculkan pandangan kategorikal tentang benar salah menurut tuntunan hukum yang objektif.[1] 
Moralitas sendiri dapat dibedakan dalam dua watak. Pertama, moralitas yang didasarkan pada aturan-aturan, prinsip-prinsip dan tuntunan-tuntunan yang diterima dalam paket jadi. Ini dikenal sebagai “legalisme moral”, yaitu pemikiran moral yang bertumpu pada hukum-hukum baku, dan tak dapat diganggu gugat. Pendekatan yang legalistik ini menegakkan hukum-hukum moralnya berdasarkan perilaku (conduct), terlepas dari unsur-unsur bawaan (character) yang melatarbelakangi tindakan pelaku, situasi dan lingkungannya. Satu-satunya pegangan adalah bahwa setiap tindakan mempunyai konsekuensi-konsekuensi hukum. Segala sesuatu diukur dalam standar benar (right) atau salah (wrong) menurut ketentuan-ketentuan hukum yang cenderung absolutistik dan kategorikal (mutlak).
 Kedua, ketentuan-ketentuan moral yang didasarkan pada interpretasi terhadap situasi-situasi yang melatarbelakangi suatu tindakan. Paham yang dikenal juga sebagai aliran “partikularisme moral” ini, lazimnya mengaitkan ukuran-ukuran moralnya secara relatif, berdasarkan situasi-situasi bawaan pelaku (character). Pertimbangan yang menjadi standar adalah pertimbangan baik (good) atau buruk (bad), menurut motif, konteks lingkungan, dan tujuan perbuatan, dengan kecenderungan kuat relativistik dan kondisional.
Namun demikian, baik konsep yang legalistik maupun partikularistik, gagal memaknai moralitas: yang di satu pihak, sebagai kesadaran; dan di pihak lain, sebagai sistem.[2] Sebagai respon terhadap masalah itu, muncul upaya-upaya reflektif memberikan dasar-dasar filosofis bagi moralitas, yang dapat memberikan standar-standar prinsipil bagi kasus-kasus moral yang spesifik.
Dalam kaitan itu, muncullah perbedaan pendapat, menyangkut: apakah moralitas itu didasarkan pada prinsip benar-salah, atau baik-buruk, atau kedua-duanya? Paling tidak, ada tiga konsep yang mengemuka menyangkut masalah ini, yang dirumuskan oleh Robert L. Holmes sebagai bahasa moral:

Bahasa Moral
Konsep Deontik

Konsep Nilai
Konsep Topik
Benar-Salah, Harus-Tidak harus, Wajib-Haram, dst.

Bagus-Jelek, Baik-Buruk, Suka-tidak suka, dst.
Hak, Kewajiban, Tuntutan, Keadilan, dst

Pada prinsipnya, bahasa-bahasa moral ini merupakan kelanjutan dari dua aliran moral di atas, dengan tambahan alternatif: term konseptual (entitlement concepts).  Aliran legalistik menggunakan term “deontik”; aliran partikularistik menggunakan term “nilai” (value). Sedangkan alternatif konseptual –oleh Robert L. Holmes—diandaikan dapat menengahi paradoks-paradoks terminologis yang muncul antara konsep deontik dan konsep nilai. Karena sesuatu yang bernilai bagus, belum tentu benar dalam konsep deontik; demikian sebaliknya.

Dilihat dari konsep terminologis yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan moral, ada dua teori yang mengemuka: (1) teori benar-salah (deontic term); dan (2) teori baik-buruk (value term). Teori pertama memandang bahwa apa yang menjadi standar moralitas adalah apa yang dinilai benar oleh tuntunan normatif (prescriptive judgement) suatu lingkup masyarakat, baik secara sosial, budaya, agama dan politik. Cinta tanah air adalah standar moral yang dipegang dalam paham nasionalisme; berjuang untuk agama adalah tuntunan normatif yang benar menurut agama; demikian seterusnya. Teori kebenaran itu tidak dapat diganggu gugat oleh pertimbangan-pertimbangan baik atau buruk. Betapapun buruk dampak yang mungkin ditimbulkan oleh paham patriotisme kebangsaan, seperti rasisme dan perang antar-bangsa, tetap tidak menyurutkan nilai kebenaran moral, dari sudut pandang politik nasionalistik. Dasar pandangan inilah yang digunakan oleh bentuk pemikiran moral deontologis, seperti yang dibicarakan di bawah.
Teori kedua --baik-buruk-- memandang bahwa moralitas harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan evaluatif. Suatu penilaian moral harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan baik-buruk. Sesuatu yang benar menurut tuntunan norma tertentu, belum tentu benar secara moral, jika tidak bernilai baik. Menurut teori ini, patriotisme adakalanya bernilai negatif (buruk), jika dipandang tidak baik. Norma jihad, harus dikesampingkan demi pertimbangan moral (teori baik-buruk), jika hanya mendatangkan kemudlaratan. Singkatnya, teori ini mengedepankan pertimbangan evaluatif terhadap karakter suatu perbuatan (value judgement), daripada tuntunan normatifnya. Teori ini disebut juga sebagai teori aksiologi, yang pada tingkatnya yang keras (stong), menjadi dasar pemikiran moral teleologis –sebagaimana akan dibicarakan.
Adapun dilihat dari seberapa besar konsekuensi suatu perbuatan mempengaruhi pertimbangan moral, dapat dipilah dalam dua teori besar:
1.         Teori Konsekuensialisme: kebenaran moral ditentukan dari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh suatu tindakan. Artinya, nilai benar-salah (deontic) ditentukan oleh baik-buruk (value) konsekuensi yang timbul. Paham ini menganjurkan untuk memilih perbuatan yang mempunyai konsekuensi lebih baik daripada yang lain. Teori ini identik dengan paham teleologis –sebagaimana akan dibicarakan nanti.
2.    Teori Nonkonsekuensialisme, terbagi dua kecenderungan:
a.       Nonkonsekuensialisme Keras atau ekstrem (strong): Konsekuensi suatu tindakan tidak ada hubungannya sama sekali dengan nilai moral suatu perbuatan. Teori ini identik dengan paham strong deontologism.
b.      Nonkonsekuensialisme Lunak atau moderat (weak): Nilai moral dapat diukur dari konsekuensi suatu tindakan, tapi tidak menentukan.


            Menyangkut hakikat dan konekuensinya, ada tiga bentuk pemikiran moral: (1) Deontologisme; (2) Teleologisme; dan (3) Intuisionisme (prima facie duties).

1. Deontologi: Hakikat dan Konsekuensi Nilai Moral
Deontologi adalah bentuk pemikiran moral yang memandang bahwa nilai moral suatu perbuatan terletak pada perbuatan itu sendiri (khair li dzâtih). Bentuk pemikiran ini mendasarkan penilaian moralnya pada konsep “benar atau salah”, bukan “baik atau buruk”. Nilai “benar” itu sendiri didasarkan pada sistem nilai (virtue) yang dianut. Kebenaran moral adalah apa yang menjadi tuntunan moral (prescriptive judjement). Artinya apapun yang dipandang benar menurut suatu sistem moral (virtue), maka itulah hakikat nilai moral. Konsep terminologis benar-salah, ditopang oleh logika keharusan atau kemestian (ought to). Asas tuntunan moral yang digunakan dalam teori ini, dengan demikian, menolak penilaian evaluatif tentang apa yang baik dan buruk. Baik dan buruk tidak menjadi dasar nilai moral. Karena yang baik belum tentu benar menurut tuntunan moral, sebagaimana telah disinggung di atas.
Namun demikian, bukan berarti bentuk pemikiran moral deontologis ini menolak nilai baik dan buruk, karena menurut paham ini, pada hakikatnya, apa pun yang dituntunkan oleh suatu sistem nilai (virtue), pasti mengandung kebaikan (manfaat). Para pelaku moral (individu), dipandang, tidak dalam posisi menentukan sistem nilai. Mereka tak lebih dari objek moral yang dituntut, dianjurkan dan diharuskan mengikuti hukum-hukum moral yang telah ditetapkan.
Aplikasi pandangan ini, akan dengan mudah ditemukan dalam tuntunan-tuntunan agama. Melakukan kegiatan puasa atau shalat adalah kebenaran agamis, yang kebenaran nilainya tak memerlukan pembenaran evaluatif tentang baik dan buruk. Karena secara imani (prescriptive judgement), kebenaran itu sudah pasti mengandung kebaikan. Dalam kasus yang lebih tegas, perbuatan “menepati janji” harus dilakukan, bukan karena ia baik menurut pertimbangan evaluatif, tapi ia harus dilakukan karena hal itu sudah menjadi tuntunan hukum agama. Moralitas agama dalam perspektif ini, adalah melaksanakan apa yang benar menurut agama. Inilah yang disebut oleh filosof moral sebagai teori “Perintah Tuhan”.
Aplikasi bentuk pamikiran moral ini tidak hanya terbatas dalam wilayah agama; tapi juga berlaku umum pada semua wilayah hukum. Oleh karena itu, pada tingkat ini, bentuk pemikiran deontologis dapat dipertautkan dengan logika legalisme moral –sebagaimana telah diungkap di atas. Letak korelasinya adalah pada pandangan bahwa semua ketentuan hukum harus diterapkan sebagai standar moral, terlepas dari pertimbangan baik-buruknya sesuatu itu bagi individu-individu pelaksananya. Hanya saja, jika pada hukum agama peletak dasar moralnya adalah Tuhan (Syâri’) --melalui formulasi hukum agen-agen agama (ulama, gereja, dsb); maka pada hukum positiv (non-ilahi), peletak dasar moralnya (undang-undang) adalah seorang diktator dalam negara otokratik, atau kepala suku pada masyarakat adat, atau para legislator pada negara demokratik. Pada tingkat ini pula, pemikiran deontologis mempunyai konsekuensi yang (1) absolutistik (presciptive judgment); (2) tidak memberi ruang bagi pemahaman-pemahaman dan penafsiran-penafsiran alternatif (evaluating judgment); atau bersifat (3) legalistik-formalistik (kaku); yang dengan demikian, menjadi (4) universalistik: berlaku untuk semua, tanpa kecuali.
Paham deontologisme terbagi pada dua aliran. Pertama, Deontologisme yang Keras (strong deontologism). Aliran ini bersikukuh pada dasar pemikiran di atas, bahwa apa yang disebut benar, salah, wajib, dan haram, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah baik atau buruk. Aliran ini adalah penganut ekstrem dari “konsep deontik” –sebagaimana telah disinggung di atas; dan menolak “konsep nilai” (value of good or wrong). Penganut paham ini biasanya adalah kaum agamawan, yang memandang bahwa moralitas adalah sepenuhnya urusan Tuhan. Menurut mereka, Tuhan memang memerintahkan untuk berbuat baik, tapi perintah itu sendiri tidak ada kaitannya dengan masalah baik atau buruk. Berbuat baik adalah sepenuhnya wujud dari kepatuhan pada perintah Tuhan. Kepatuhan adalah benar, dianjurkan dan diharuskan secara moral, bukan masalah baik atau buruk. Hanya saja, secara ‘teologis’, aliran ini meyakini apa pun yang benar  menurut sistem nilai (agama dan hukum), sudah pasti baik dan akan mendatangkan kebaikan. Tokoh terdepan dari aliran ini adalah Immanuel Kant.[3]
Dalam kaitan ini, Immanuel Kant menyatakan: “suatu tindakan  bisa secara moral baik atau buruk, hanya jika dilakukan secara bebas dan berasal dari penghargaan [kepatuhan] terhadap hukum moral, bukan berasal dari keinginan untuk memenuhi hasrat kita akan kebahagiaan [kebaikan].”
Dalam pemikiran moral Islam, kecenderungan yang dikenal dengan “non-konsekuensialis” ini, juga dapat ditemukan dalam etika Ibn Miskwaih. Ibn Miskawaih mengisyaratkan bahwa: “sesuatu itu benilai baik apabila dilakukan karena perbuatan itu sendiri, bukan karena alasan kemanfaatan dan kegunaan atau kebaikan lain yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan itu.”
Kedua, Deontologisme Lunak (weak deontologism). Menurut aliran deontologis yang moderat ini, nilai baik dan buruk dapat dijadikan ukuran bagi kebenaran moral, tapi tidak dalam posisi yang menentukan. Artinya, aliran ini masih memberikan ruang bagi kegiatan evaluasi terhadap suatu perbuatan, dari aspek baik dan buruknya, baik pada tingkat motif (niat), perbuatan itu sendiri, maupun pada konsekuensinya. Menurut paham ini, konsekuensi suatu perbuatan dapat menjadi pertimbangan yang bijak dalam memilih suatu perbuatan, yaitu perbuatan yang memberikan konsekuensi lebih baik daripada alternatif yang lain, sebagaimana dianjurkan dalam teori konsekuensialime. Sebaliknya, sebuah tindakan moral dapat saja diabaikan jika ternyata mendatangkan konsekuensi mudlarat lebih besar daripada manfaatnya. Namun demikian, acuan dasar moralitasnya tetap pada norma deontik (benar dan salah), dengan menjadikan pertimbangan nilai baik-buruk sebagai alternatif pelengkap.
Contohnya, angkat senjata melawan penindasan bersenjata mungkin benar menurut tuntunan moral, tapi jika mudlarat yang mungkin ditimbulkannya lebih besar dari manfaat yang mungkin diraih, maka angkat senjata itu lebih baik diabaikan.  Tapi karena “perlawanan terhadap penindasan” tetap merupakan tuntunan moral, maka harus ada alternatif tindakan moral lain yang dipandang mempunyai konsekuensi yang lebih bermanfaat. Artinya, meskipun konsekuensi dapat dijadikan pertimbangan moral, tapi pertimbangan terhadap konsekuensi itu tidak dapat dijadikan dasar dalam melakukan atau meggugurkan sebuah tuntunan moral. Tuntunan moral tetap tak tergoyahkan, meskipun harus disikapi dengan mencari interpretasi alternatif, berdasarkan pertimbangan baik-buruknya konsekuensi suatu tindakan (evaluating judgement).  Kasus ibadah mahdlah dalam Islam, mungkin dapat digambarkan dalam konsep “rukhshah”.
Kebanyakan deontologis menganut aliran yang lunak ini, yang kemudian berkembang dalam paham “deontologis-konsekuensialis”. Paham ini mempunyai tiga tipe pertimbangan: (1) konsekuensi dari perbuatan; (2) kebenaran moral adalah apa yang diterima sebagai sistem moral (virtue); dan  (3) kebenaran adalah apa secara niscaya diperbuat dan secara sadar dapat dipertanggungjawabkan.

2. Teleologi: Hakikat dan Konsekuensi Nilai Moralnya
Teleologi adalah “bentuk pemikiran moral yang menerapkan nilai moral suatu perbuatan berdasarkan konsep baik-buruk, yang ditentukan sepenuhnya oleh konsekuensi dari perbuatan itu.” Paham teleologi merupakan bentuk pemikiran moral aksiologis yang berwatak konsekuensialis. Aksiologi adalah teori yang menyatakan kebenaran moral tergantung sepenuhnya pada nilai baik dan buruk (evaluative judgment). Teori ini memandang bahwa suatu tindakan adalah benar, jika dan hanya jika, paling tidak, nilai manfaatnya lebih besar daripada nilai mudlaratnya, baik pada perbuatan itu sendiri, atau pada konsekuensinya, atau kombinasi dari keduanya.[4] Bagian teori aksiologi yang menyatakan bahwa “nilai baik suatu perbuatan tergantung pada konsekuensinya, bukan pada nilai perbuatan itu sendiri”, adalah paham teleologi.
Dalam bentuk pemikiran teleologis, sesuatu tindakan dinyatakan benar secara moral, jika tindakan itu --paling tidak—memberikan manfaat (kebaikan) lebih besar daripada mudlarat (keburukan). Teori ini mengedepankan asas baik-buruk, untuk menetapkan kebenaran moral. Sesuatu dinilai benar secara moral, jika baik menurut pertimbangan-pertimbangan evaluatif. Teori ini mengukur kebenaran dari konsekuensi baik-buruk suatu perbuatan.
Bentuk pemikiran ini banyak diinisiasikan pada Aristoteles, meskipun ia juga mempunyai kecenderungan deontologis dalam praktek penilaian moralnya, dan mengakui intuisi sebagai sumber moral (intuisionis). Menurut Aristoteles, yang membuat kehidupan manusia bermutu, harus dicari dengan bertitik tolak pada realitas manusia sendiri (karakter pelaku), bukan pada ide tentang yang baik pada suatu perbuatan.
Ada dua problem moral yang dihadapi bentuk pemikiran teleologis ini: (1) siapa/apa yang menjadi standar ukuran etis? (2) Bagaimana jika suatu prbuatan mengandung konsekuensi kebaikan dan keburukan sekaligus?
Menyangkut problem pertama (standar etika), teori ini terbagi pada dua tipe etika: Etika Mikro, dan Etika Makro. Etika Mikro memandang bahwa: “kebenaran moral ditentukan oleh nilai konsekuensi (manfaat) yang dirasakan oleh orang per-orang.” Wakil paling jelas dari dasar etika ini, adalah etika egoisme, yang memandang bahwa: “suatu tindakan benar, jika mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi diri pelakunya.” Diri pelaku dapat saja berupa anggota keluarga, anggota suku, warga negara, atau umat suatu agama. Etika mikro ini mengedepankan kebaikan bagi setiap individu, bukan bagi lembaga. Ini mengandaikan bahwa suatu organisasi masyarakat, agama, politik, ekonomi, sudah dapat dikatakan benar, jika dapat memenuhi kepentingan anggotanya. Jika dasar etikanya menyangkut seluruh individu dalam keanggotaan masyarakat, maka etika mikro ini, terproyeksikan dalam etika utilitarianisme –yaitu yang bersifat personal, bukan totalitas organik kelembagaan.
Sedangkan Etika Makro, memandang bahwa “kebenaran moral ditentukan oleh manfaat yang dirasakan oleh suatu lembaga: keluarga, suku, masyarakat, negara atau agama, bukan satuan-satuan anggotanya.” Etika ini lazimnya menggunakan cara pandangan utilitarianisme –yaitu meletakkan kepentingan yang lebih besar (makro) di atas kepentingan pribadi (mikro). “Suatu tindakan benar, jika mendatang manfaat sebesar-besarnya dan seluas-luasnya bagi suatu kolektivitas”. Etika ini biasanya menjadi dasar moral bagi gagasan solidaritas kesukuan, loyalitas partisan, patriotisme nasionalistik, dan fanatisme keagamaan. Kepentingan pribadi anggotanya tidak menjadi pertimbangan utama.  Ini mengandaikan bahwa suatu tindakan itu benar, jika dapat mendatangkan kebaikan bagi kepentingan lembaga: sosial, budaya, politik dan keagamaan.
Meskipun etika mikro menggunakan perspektif egoisme dan etika makro menggunakan perspektif utilitarianisme, namun tidak berarti hal itu berlaku secara eksklusif (tertutup). Karena dapat saja etika mikro menghasilkan cita-cita utilitarianistik, yaitu ketika pemenuhan kepentingan pribadi telah merata, yang dengan sendirinya akan mendatangkan konsekuensi baik bagi anggota-anggota masyarakat lainnya. Semakin luas pemenuhan kepentingan (kebaikan) pribadi dicapai, maka semakin besar pula manfaat yang akan dirasakan oleh suatu lembaga. Etika epicureanisme yang menggunakan etika egoisme, umpamanya, memandang bahwa persahabatan dan kolektivitas adalah pra-syarat bagi pemenuhan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi tak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan etika kolektif utilitarianistik yang diajarkan dalam etika makrro.
Demikian pula sebaliknya, Etika Makro dapat saja menciptakan kebaikan bagi kepentingan-kepentingan egoistik (mikro). Logikanya, semakin makmur suatu negara, semakin besar pula kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh warganya, orang per-orang. Lebih jauh, cita-cita utilitarianistik dalam etika makro, tak mungkin tercapai tanpa memperhatikan kepentingan personal egoistik yang diajarkan dalam etika mikro.
Problem kedua: bagaimana jika suatu perbuatan menghasilkan konsekuensi baik dan buruk sekaligus? Menonton film baik bagi relaksasi, tapi juga buruk dari sisi pemborosan waktu. Berobat ke dokter baik bagi kesehatan, tidak buruk bagi keuangan. Membeli makanan dan pakaian, baik  bagi pemenuhan kebutuhan pokok, tapi tidak baik dari sisi keharusan membayar pajak dari belanja itu. Aborsi juga baik bagi pertimbangan rasional menghindari ketidakpastian masa depan anak yang dikandung; tapi tidak baik bagi norma agama. Dalam kasus-kasus seperti ini, bentuk pemikiran teleologis ini memandang bahwa yang benar secara moral  adalah tindakan yang dapat mendatangkan kebaikan (manfaat) lebih besar daripada alternatif tindakan lain yang mempunyai keburukan (mudlarat) lebih besar. Contohnya: membeli makanan lebih besar manfaatnya, meskipun harus mengeluarkan biaya, dari menahan lapar, yang mengandung mudlarat lebih besar daripada manfaat penghematannya.
Konsekuensi moral dari paham ini adalah munculnya pandangan yang relativistik, atau kontekstualistik dan kondisional, subjektivistik, dan pragmatis.

3. Intuisionisme (Prima Facie Duties): Hakikat dan Konsekuensi Moralnya
            Bentuk pemikiran intusionisme, pada awalnya, lahir sebagai jawaban atas problem dasar pemikiran moral menyangkut logika yang digunakan. Jika diletakkan dalam rumusan silogistik (premis mayor, premis minor dan kesimpulan), maka baik bentuk pemikiran deontologis maupun teleologis, tidak pernah menjelaskan bagaimana proses terciptanya premis mayor yang menjadi dasar dari bangunan silogistik selanjutnya. Contohnya:
Premis Mayor         : Meraih kebahagiaan adalah benar/baik secara moral
Premis Minor         : Memenuhi kebutuhan mendatangkan kebahagiaan
Kesimpulan                        :Setiap orang harus/sebaiknya memenuhi kebutuhannya
Asal usul logis dari penilaian (premis mayor) deontologis atau teleologis bahwa “meraih kebahagiaan adalah benar atau baik”, tidak pernah dibicarakan. Keduanya muncul secara tiba-tiba (aksiomatik). Apapun yang dianggap benar/baik atau salah/buruk, akan diterima sebagai prinsip faktual tentang benar/baik atau salah/buruk. Apakah ada cara untuk membuktikan validitas penilaian moral itu (premis mayor)?  Bagaimana cara mendapatkan prinsip faktual itu?
Menurut pandangan naturalistik, apa yang dinilai sebagai “benar” atau “baik”, merupakan prinsip faktual yang dapat dibuktikan secara empirik, karena menurut pandangan etika naturalisme, dunia empirik pada dirinya menyimpan fakta-fakta moral. Apa yang  dilihat sebagai benar atau baik adalah fakta yang empirik.
Bentuk pemikiran intuisionisme menolak pandangan naturalistik itu. G. E. Moore –salah satu tokoh utama intuisionisme—mengisyaratkan bahwa: sebuah proposisi silogistik tidak dapat dibuktikan secara empirik, tapi hanya dapat dirasakan secara intuitif.[5] John Stuart Mill –meskipun tak menginisiasikan dirinya pada paham ini, mengatakan bahwa: “ciri umum dari premis pertama dari pengetahuan kita adalah tidak dapat dibuktikan dengan nalar, sebagaimana halnya kita tidak dapat membuktikan prinsip-prinsip awal dari perbuatan kita.”
Pandangan yang lebih definitif menyatakan bahwa prinsip-prinsip moral akan terbukti dengan sendirinya (self-evident intuition). Validiltas dan falsitasnya akan terbukti dengan memahaminya secara intuitif. Belakangan, W. D. Ross menyatakan bahwa ada prinsip-prinsip yang dapat terbukti dengan sendirinya (intuitif), seperti: (1) menyatakan kebenaran; (2) menepati janji; (3) memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat; (4) meraih kebahagiaan; (5) berbuat baik kepada orang lain; (6) berbuat baik kepada diri sendiri; (7) tidak boleh menyakiti orang lain. Inilah yang disebut oleh Ross sebagai “prima facie duties”
Prinsip-prinsip atau tugas-tugas (duties) itu, merupakan standar moral yang harus dilakukan, jika tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan moral lain yang dapat diikuti. Pertimbangan-pertimbangan moral lain, atau yang diistilahkan sebagai “actual duties”, adalah acuan-acuan moral yang berlaku, baik berupa pertimbangan kewajiban deontologis, ataupun kepentingan teleologis. Tugas-tugas prima facie merupakan prinsip-prinsip moral yang intuitif (self-evident). Prinsip-prinsip itu tidak memberikan acuan-acuan khusus tentang apa yang harus dikerjakan. Makanya, bentuk pemikiran ini tidak pernah memperkenalkan aturan-aturan spesifik dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Suatu perbuatan dipandang benar/baik, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip prima facie, seperti yang di antaranya telah disebutkan di atas.
Lebih jauh, prima facie duties, dicanangkan sebagai penengah terhadap kebuntukan moral yang dihadapi oleh dua bentuk pemikiran terdahulu, yaitu dalam situasi-situasi ketika terjadi bentukan antara asas manfaat/kepentingan (teleologis) dengan asas normatif/kewajiban (deontologis). Dalam situasi inilah, bentuk pemikiran intuitif memberikan prinsip-prinsip dasar (prima facie) tentang kebenaran (truth). Bentuk prima facie juga menawarkan konsep baik-buruk –sebagaimana pada pemikiran teleologis. Contohnya, jika seekor serigala bertanya: “di mana lokasi seekor domba?” Ada dua jawaban yang tersedia: (1) berkata jujur kepada serigala, dengan konsekuensi membiarkan domba itu dimangsa; atau (2) berkata bohong, dengan pertimbangan menyelamatkan domba. Pemikiran intuisionisme tidak merekomendasikan keduanya, karena sama-sama melanggar prinsip-prinsip moral prima facie. Satu-satunya pilihan adalah tidak menjawab, sebagai sikap moral yang paling baik.
Pemikiran prima facie juga dikemukakan oleh sejumlah filosof agama, seperti William Alston. Menurut Alston, konsep prima facie pada hakikatnya menjadi isyarat inti yang terkandung dalam ajaran agama; sebagaimana moralitas intuisionis juga memungkinkan agama untuk mengembangkan spiritualisme pluralistik.[6]
Dalam pemikiran etika Islam, wakil yang menonjol dari kecenderungan yang intuisionistik ini adalah Raghib Isfahani, meskipun pada tingkat tertentu, ia juga mempunyai kecenderungan naturalistik. Bahkan, menurut George F. Hourani, dasar pemikiran etika rasionalisme Islam sepadan dengan pemikiran moral intuisionist ini.
Konsekuensi dari pemikiran moral ini adalah bahwa munculnya pandangan yang: (1) relativistik, karena tidak memberikan acuan yang pasti tentang apa yang harus diperbuat. Semuanya tergantung pada pemahaman dan interpretasi intuitif yang sangat terbuka. (2) pluralistik, karena ada beragam prinsip yang direkomendasikan. Akibat bawaannya, acuan moral ini menjadi terlalu toleran dan permisif. (3) subjektif, karena untuk dapat memahaminya, harus dilakukan melakukannya terlebih dahulu, sebelum terbukti benar/baik. (4) nonkonsekuensialis, karena prinsipnya didasarkan pada landasan yang tuntunan intuitif.
Konsekuensi-konsekuensi moralistik ini pada gilirannya akan memunculkan kerancuan-kerancuan menyangkut ketidakpastian dasar pertimbangan moralnya, karena mencampuradukkan antara konsep legalistik dan partikularistik; nilai benar-salah (value term) dan baik-buruk (deontik); dan antara teleologi dan deontologi. Subjek moralnya juga tidak jelas, apakah mengacu pada etika mikro atau makro; egoistik atau utilitarinistik. Terakhir, model pemikiran ini juga tidak memberikan acuan, jika terjadi kontradiksi-internal antar prinsip-prinsip prima facienya sendiri.

Ketiga bentuk pemikiran moral di atas, pada hakikatnya, ‘hanya’ berbeda pada tingkat interpretasinya terhadap moralitas. Karena pada tingkat lapangan, ketiga-tiga saling mengakui:
1.      Deontologisme yang menekankan nilai benar-salah menurut ketentuan hukum (syara’ atau undang-undang), pada hakikatnya mengakui nilai baik-buruk (konsekuensi teleologis) sebagai bagian yang inheren dalam tuntunan moral deontologis. Bahwa hukum deontik tidak mungkin memerintahkan atau menganjurkan sesuatu yang buruk.
2.      Teleologisme yang menekankan konsekuensi baik-buruk suatu perbuatan, pada hakikatnya, mengakui nilai benar-salah sebagai karakter bawaan dari moralitas teleologis. Bahwa apa yang “baik” sudah pasti “benar”.
3.      Intuisionisme yang menekankan prinsip non-empirik prima facie, pada hakikatnya merupakan pengakuan kompromistik terhadap moralitas deontologis dan teleologis sekaligus. Karena prinsip-prinsip prima facie itu, tidak mungkin melanggar asas-asas kewajiban moral (deontologis) dan kepentingan moral (teleologis).






[1]Robert L. Holmes, Basic Moral Philosophy, (1998)
[2]Dua syarat pra-kondisional (more conscious and systematic) itu mengikuti pemikiran moral yang dikemukakan oleh John Dewey.
[3]Howard J. Curzer, Ethical Theory and Moral Problems, (1999)
[4] Berdasarkan rumusan ini, ada yang berpendapat bahwa pemikiran deontologis yang lunak merupakan pecahan dari pemikiran aksiologi; tapi asumsi ini mengandung kelemahan prinsipil, bahwa yang aksiologis lebih menitikberatkan pada unsur ekstrinsik perbuatan –yaitu konsekuensi; sedangkan deontologis, pada faktor instrinsik perbuatan (khair li dzâtihî).
[5] Ibid., h. 184
[6]William J. Wainwright, Philosophy of Religion,  (1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar