PEMIKIRAN MORAL
Pemikiran moral, menurut Holmes, hanya mungkin
muncul dari konsep baik-buruk, dan benar-salah. Konsep pertama memunculkan
pandangan bahwa moralitas bersifat kondisional dan sangat terkait dengan
(relative to) lingkungan sosial dan budaya, tempat moralitas itu lahir. Konsep
kedua memunculkan pandangan kategorikal tentang benar salah menurut
tuntunan hukum yang objektif.[1]
Moralitas sendiri dapat dibedakan dalam dua
watak. Pertama, moralitas yang didasarkan pada aturan-aturan,
prinsip-prinsip dan tuntunan-tuntunan yang diterima dalam paket jadi. Ini
dikenal sebagai “legalisme moral”, yaitu pemikiran moral yang bertumpu
pada hukum-hukum baku, dan tak dapat diganggu gugat. Pendekatan yang legalistik
ini menegakkan hukum-hukum moralnya berdasarkan perilaku (conduct),
terlepas dari unsur-unsur bawaan (character) yang melatarbelakangi
tindakan pelaku, situasi dan lingkungannya. Satu-satunya pegangan adalah bahwa
setiap tindakan mempunyai konsekuensi-konsekuensi hukum. Segala sesuatu diukur
dalam standar benar (right) atau salah (wrong) menurut
ketentuan-ketentuan hukum yang cenderung absolutistik dan kategorikal (mutlak).
Kedua,
ketentuan-ketentuan moral yang didasarkan pada interpretasi terhadap
situasi-situasi yang melatarbelakangi suatu tindakan. Paham yang dikenal juga
sebagai aliran “partikularisme moral” ini, lazimnya mengaitkan
ukuran-ukuran moralnya secara relatif, berdasarkan situasi-situasi bawaan
pelaku (character). Pertimbangan yang menjadi standar adalah
pertimbangan baik (good) atau buruk (bad), menurut motif, konteks
lingkungan, dan tujuan perbuatan, dengan kecenderungan kuat relativistik dan
kondisional.
Namun demikian, baik konsep yang legalistik
maupun partikularistik, gagal memaknai moralitas: yang di satu pihak, sebagai kesadaran;
dan di pihak lain, sebagai sistem.[2]
Sebagai respon terhadap masalah itu, muncul upaya-upaya reflektif memberikan
dasar-dasar filosofis bagi moralitas, yang dapat memberikan standar-standar
prinsipil bagi kasus-kasus moral yang spesifik.
Dalam
kaitan itu, muncullah perbedaan pendapat, menyangkut: apakah moralitas itu
didasarkan pada prinsip benar-salah, atau baik-buruk, atau
kedua-duanya? Paling tidak, ada tiga konsep yang mengemuka menyangkut masalah
ini, yang dirumuskan oleh Robert L. Holmes sebagai bahasa moral:
Bahasa Moral
|
Konsep Deontik
|
|
Konsep Nilai
|
Konsep Topik
|
|
Benar-Salah, Harus-Tidak harus,
Wajib-Haram, dst.
|
|
Bagus-Jelek, Baik-Buruk, Suka-tidak suka,
dst.
|
Hak, Kewajiban, Tuntutan, Keadilan, dst
|
Pada
prinsipnya, bahasa-bahasa moral ini merupakan kelanjutan dari dua aliran moral
di atas, dengan tambahan alternatif: term konseptual (entitlement
concepts). Aliran legalistik menggunakan
term “deontik”; aliran partikularistik menggunakan term “nilai” (value).
Sedangkan alternatif konseptual –oleh Robert L. Holmes—diandaikan dapat
menengahi paradoks-paradoks terminologis yang muncul antara konsep deontik dan
konsep nilai. Karena sesuatu yang bernilai bagus, belum tentu benar dalam
konsep deontik; demikian sebaliknya.
Dilihat
dari konsep terminologis yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan moral, ada
dua teori yang mengemuka: (1) teori benar-salah (deontic term);
dan (2) teori baik-buruk (value term). Teori pertama
memandang bahwa apa yang menjadi standar moralitas adalah apa yang dinilai
benar oleh tuntunan normatif (prescriptive judgement) suatu lingkup
masyarakat, baik secara sosial, budaya, agama dan politik. Cinta tanah air
adalah standar moral yang dipegang dalam paham nasionalisme; berjuang untuk
agama adalah tuntunan normatif yang benar menurut agama; demikian seterusnya.
Teori kebenaran itu tidak dapat diganggu gugat oleh pertimbangan-pertimbangan
baik atau buruk. Betapapun buruk dampak yang mungkin ditimbulkan oleh paham
patriotisme kebangsaan, seperti rasisme dan perang antar-bangsa, tetap tidak
menyurutkan nilai kebenaran moral, dari sudut pandang politik nasionalistik.
Dasar pandangan inilah yang digunakan oleh bentuk pemikiran moral deontologis,
seperti yang dibicarakan di bawah.
Teori
kedua --baik-buruk-- memandang bahwa moralitas harus didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan evaluatif. Suatu penilaian moral harus mempunyai
pertimbangan-pertimbangan baik-buruk. Sesuatu yang benar menurut
tuntunan norma tertentu, belum tentu benar secara moral, jika tidak bernilai
baik. Menurut teori ini, patriotisme adakalanya bernilai negatif (buruk), jika
dipandang tidak baik. Norma jihad, harus dikesampingkan demi pertimbangan moral
(teori baik-buruk), jika hanya mendatangkan kemudlaratan. Singkatnya, teori ini
mengedepankan pertimbangan evaluatif terhadap karakter suatu perbuatan (value
judgement), daripada tuntunan normatifnya. Teori ini disebut juga sebagai teori
aksiologi, yang pada tingkatnya yang keras (stong), menjadi dasar
pemikiran moral teleologis –sebagaimana akan dibicarakan.
Adapun
dilihat dari seberapa besar konsekuensi suatu perbuatan mempengaruhi
pertimbangan moral, dapat dipilah dalam dua teori besar:
1.
Teori Konsekuensialisme:
kebenaran moral ditentukan dari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh
suatu tindakan. Artinya, nilai benar-salah (deontic) ditentukan
oleh baik-buruk (value) konsekuensi yang timbul. Paham ini
menganjurkan untuk memilih perbuatan yang mempunyai konsekuensi lebih baik
daripada yang lain. Teori ini identik dengan paham teleologis
–sebagaimana akan dibicarakan nanti.
2.
Teori Nonkonsekuensialisme,
terbagi dua kecenderungan:
a.
Nonkonsekuensialisme Keras
atau ekstrem (strong): Konsekuensi suatu tindakan tidak ada hubungannya sama
sekali dengan nilai moral suatu perbuatan. Teori ini identik dengan paham strong
deontologism.
b.
Nonkonsekuensialisme Lunak
atau moderat (weak): Nilai moral dapat diukur dari konsekuensi suatu tindakan,
tapi tidak menentukan.
Menyangkut
hakikat dan konekuensinya, ada tiga bentuk pemikiran moral: (1) Deontologisme;
(2) Teleologisme; dan (3) Intuisionisme (prima facie duties).
1. Deontologi: Hakikat dan Konsekuensi Nilai
Moral
Deontologi
adalah bentuk pemikiran moral yang memandang bahwa nilai moral suatu perbuatan
terletak pada perbuatan itu sendiri (khair li dzâtih). Bentuk pemikiran
ini mendasarkan penilaian moralnya pada konsep “benar atau salah”,
bukan “baik atau buruk”. Nilai “benar” itu sendiri didasarkan
pada sistem nilai (virtue) yang dianut. Kebenaran moral adalah apa yang menjadi
tuntunan moral (prescriptive judjement). Artinya apapun yang
dipandang benar menurut suatu sistem moral (virtue), maka itulah hakikat
nilai moral. Konsep terminologis benar-salah, ditopang oleh logika keharusan
atau kemestian (ought to). Asas tuntunan moral yang digunakan
dalam teori ini, dengan demikian, menolak penilaian evaluatif tentang
apa yang baik dan buruk. Baik dan buruk tidak menjadi dasar nilai moral. Karena
yang baik belum tentu benar menurut tuntunan moral, sebagaimana telah
disinggung di atas.
Namun
demikian, bukan berarti bentuk pemikiran moral deontologis ini menolak nilai
baik dan buruk, karena menurut paham ini, pada hakikatnya, apa pun yang
dituntunkan oleh suatu sistem nilai (virtue), pasti mengandung kebaikan
(manfaat). Para pelaku moral (individu), dipandang, tidak dalam posisi
menentukan sistem nilai. Mereka tak lebih dari objek moral yang dituntut,
dianjurkan dan diharuskan mengikuti hukum-hukum moral yang telah ditetapkan.
Aplikasi
pandangan ini, akan dengan mudah ditemukan dalam tuntunan-tuntunan agama.
Melakukan kegiatan puasa atau shalat adalah kebenaran agamis, yang kebenaran
nilainya tak memerlukan pembenaran evaluatif tentang baik dan buruk. Karena
secara imani (prescriptive judgement), kebenaran itu sudah pasti mengandung
kebaikan. Dalam kasus yang lebih tegas, perbuatan “menepati janji” harus
dilakukan, bukan karena ia baik menurut pertimbangan evaluatif, tapi ia harus
dilakukan karena hal itu sudah menjadi tuntunan hukum agama. Moralitas
agama dalam perspektif ini, adalah melaksanakan apa yang benar menurut
agama. Inilah yang disebut oleh filosof moral sebagai teori “Perintah Tuhan”.
Aplikasi
bentuk pamikiran moral ini tidak hanya terbatas dalam wilayah agama; tapi juga
berlaku umum pada semua wilayah hukum. Oleh karena itu, pada tingkat ini,
bentuk pemikiran deontologis dapat dipertautkan dengan logika legalisme moral
–sebagaimana telah diungkap di atas. Letak korelasinya adalah pada pandangan
bahwa semua ketentuan hukum harus diterapkan sebagai standar moral,
terlepas dari pertimbangan baik-buruknya sesuatu itu bagi individu-individu
pelaksananya. Hanya saja, jika pada hukum agama peletak dasar moralnya adalah
Tuhan (Syâri’) --melalui formulasi hukum agen-agen agama (ulama, gereja, dsb);
maka pada hukum positiv (non-ilahi), peletak dasar moralnya (undang-undang)
adalah seorang diktator dalam negara otokratik, atau kepala suku pada
masyarakat adat, atau para legislator pada negara demokratik. Pada tingkat ini
pula, pemikiran deontologis mempunyai konsekuensi yang (1) absolutistik
(presciptive judgment); (2) tidak memberi ruang bagi pemahaman-pemahaman dan
penafsiran-penafsiran alternatif (evaluating judgment); atau bersifat (3)
legalistik-formalistik (kaku); yang dengan demikian, menjadi (4) universalistik:
berlaku untuk semua, tanpa kecuali.
Paham
deontologisme terbagi pada dua aliran. Pertama, Deontologisme yang
Keras (strong deontologism). Aliran ini bersikukuh pada dasar
pemikiran di atas, bahwa apa yang disebut benar, salah, wajib, dan haram, sama
sekali tidak ada hubungannya dengan masalah baik atau buruk. Aliran ini adalah
penganut ekstrem dari “konsep deontik” –sebagaimana telah disinggung di atas;
dan menolak “konsep nilai” (value of good or wrong). Penganut paham ini
biasanya adalah kaum agamawan, yang memandang bahwa moralitas adalah sepenuhnya
urusan Tuhan. Menurut mereka, Tuhan memang memerintahkan untuk berbuat baik,
tapi perintah itu sendiri tidak ada kaitannya dengan masalah baik atau buruk.
Berbuat baik adalah sepenuhnya wujud dari kepatuhan pada perintah Tuhan.
Kepatuhan adalah benar, dianjurkan dan diharuskan secara
moral, bukan masalah baik atau buruk. Hanya saja, secara
‘teologis’, aliran ini meyakini apa pun yang benar menurut sistem nilai (agama dan hukum), sudah
pasti baik dan akan mendatangkan kebaikan. Tokoh terdepan dari aliran ini
adalah Immanuel Kant.[3]
Dalam
kaitan ini, Immanuel Kant menyatakan: “suatu tindakan bisa secara moral baik atau buruk, hanya jika
dilakukan secara bebas dan berasal dari penghargaan [kepatuhan] terhadap hukum
moral, bukan berasal dari keinginan untuk memenuhi hasrat kita akan kebahagiaan
[kebaikan].”
Dalam
pemikiran moral Islam, kecenderungan yang dikenal dengan “non-konsekuensialis”
ini, juga dapat ditemukan dalam etika Ibn Miskwaih. Ibn Miskawaih mengisyaratkan
bahwa: “sesuatu itu benilai baik apabila dilakukan karena perbuatan itu
sendiri, bukan karena alasan kemanfaatan dan kegunaan atau kebaikan lain yang
dapat ditimbulkan oleh perbuatan itu.”
Kedua,
Deontologisme Lunak (weak deontologism). Menurut aliran
deontologis yang moderat ini, nilai baik dan buruk dapat
dijadikan ukuran bagi kebenaran moral, tapi tidak dalam posisi yang menentukan.
Artinya, aliran ini masih memberikan ruang bagi kegiatan evaluasi terhadap
suatu perbuatan, dari aspek baik dan buruknya, baik pada tingkat motif (niat),
perbuatan itu sendiri, maupun pada konsekuensinya. Menurut paham ini,
konsekuensi suatu perbuatan dapat menjadi pertimbangan yang bijak dalam memilih
suatu perbuatan, yaitu perbuatan yang memberikan konsekuensi lebih baik
daripada alternatif yang lain, sebagaimana dianjurkan dalam teori
konsekuensialime. Sebaliknya, sebuah tindakan moral dapat saja diabaikan jika
ternyata mendatangkan konsekuensi mudlarat lebih besar daripada manfaatnya.
Namun demikian, acuan dasar moralitasnya tetap pada norma deontik (benar dan
salah), dengan menjadikan pertimbangan nilai baik-buruk sebagai
alternatif pelengkap.
Contohnya,
angkat senjata melawan penindasan bersenjata mungkin benar menurut tuntunan
moral, tapi jika mudlarat yang mungkin ditimbulkannya lebih besar dari manfaat
yang mungkin diraih, maka angkat senjata itu lebih baik diabaikan. Tapi karena “perlawanan terhadap penindasan”
tetap merupakan tuntunan moral, maka harus ada alternatif tindakan moral lain
yang dipandang mempunyai konsekuensi yang lebih bermanfaat. Artinya, meskipun
konsekuensi dapat dijadikan pertimbangan moral, tapi pertimbangan terhadap
konsekuensi itu tidak dapat dijadikan dasar dalam melakukan atau meggugurkan
sebuah tuntunan moral. Tuntunan moral tetap tak tergoyahkan, meskipun harus
disikapi dengan mencari interpretasi alternatif, berdasarkan pertimbangan
baik-buruknya konsekuensi suatu tindakan (evaluating judgement). Kasus ibadah mahdlah dalam Islam,
mungkin dapat digambarkan dalam konsep “rukhshah”.
Kebanyakan
deontologis menganut aliran yang lunak ini, yang kemudian berkembang dalam
paham “deontologis-konsekuensialis”. Paham ini mempunyai tiga tipe
pertimbangan: (1) konsekuensi dari perbuatan; (2) kebenaran moral adalah
apa yang diterima sebagai sistem moral (virtue); dan (3) kebenaran adalah apa secara niscaya
diperbuat dan secara sadar dapat dipertanggungjawabkan.
2. Teleologi: Hakikat dan Konsekuensi Nilai
Moralnya
Teleologi
adalah “bentuk pemikiran moral yang menerapkan nilai moral suatu perbuatan
berdasarkan konsep baik-buruk, yang ditentukan sepenuhnya oleh konsekuensi dari
perbuatan itu.” Paham teleologi merupakan bentuk pemikiran moral aksiologis
yang berwatak konsekuensialis. Aksiologi adalah teori yang
menyatakan kebenaran moral tergantung sepenuhnya pada nilai baik dan buruk
(evaluative judgment). Teori ini memandang bahwa suatu tindakan adalah benar,
jika dan hanya jika, paling tidak, nilai manfaatnya lebih besar daripada nilai
mudlaratnya, baik pada perbuatan itu sendiri, atau pada konsekuensinya, atau
kombinasi dari keduanya.[4]
Bagian teori aksiologi yang menyatakan bahwa “nilai baik suatu perbuatan
tergantung pada konsekuensinya, bukan pada nilai perbuatan itu sendiri”,
adalah paham teleologi.
Dalam
bentuk pemikiran teleologis, sesuatu tindakan dinyatakan benar secara
moral, jika tindakan itu --paling tidak—memberikan manfaat (kebaikan)
lebih besar daripada mudlarat (keburukan). Teori ini mengedepankan asas
baik-buruk, untuk menetapkan kebenaran moral. Sesuatu dinilai benar secara
moral, jika baik menurut pertimbangan-pertimbangan evaluatif. Teori ini
mengukur kebenaran dari konsekuensi baik-buruk suatu perbuatan.
Bentuk
pemikiran ini banyak diinisiasikan pada Aristoteles, meskipun ia juga mempunyai
kecenderungan deontologis dalam praktek penilaian moralnya, dan mengakui
intuisi sebagai sumber moral (intuisionis). Menurut Aristoteles, yang membuat
kehidupan manusia bermutu, harus dicari dengan bertitik tolak pada realitas
manusia sendiri (karakter pelaku), bukan pada ide tentang yang baik pada suatu
perbuatan.
Ada
dua problem moral yang dihadapi bentuk pemikiran teleologis ini: (1) siapa/apa
yang menjadi standar ukuran etis? (2) Bagaimana jika suatu prbuatan mengandung
konsekuensi kebaikan dan keburukan sekaligus?
Menyangkut
problem pertama (standar etika), teori ini terbagi pada dua tipe etika:
Etika Mikro, dan Etika Makro. Etika Mikro memandang bahwa:
“kebenaran moral ditentukan oleh nilai konsekuensi (manfaat) yang dirasakan
oleh orang per-orang.” Wakil paling jelas dari dasar etika ini, adalah etika
egoisme, yang memandang bahwa: “suatu tindakan benar, jika mendatangkan
manfaat sebesar-besarnya bagi diri pelakunya.” Diri pelaku dapat saja
berupa anggota keluarga, anggota suku, warga negara, atau umat
suatu agama. Etika mikro ini mengedepankan kebaikan bagi setiap individu,
bukan bagi lembaga. Ini mengandaikan bahwa suatu organisasi masyarakat,
agama, politik, ekonomi, sudah dapat dikatakan benar, jika dapat memenuhi
kepentingan anggotanya. Jika dasar etikanya menyangkut seluruh individu dalam
keanggotaan masyarakat, maka etika mikro ini, terproyeksikan dalam etika utilitarianisme
–yaitu yang bersifat personal, bukan totalitas organik kelembagaan.
Sedangkan
Etika Makro, memandang bahwa “kebenaran moral ditentukan oleh manfaat yang
dirasakan oleh suatu lembaga: keluarga, suku, masyarakat, negara atau
agama, bukan satuan-satuan anggotanya.” Etika ini lazimnya menggunakan
cara pandangan utilitarianisme –yaitu meletakkan kepentingan yang lebih
besar (makro) di atas kepentingan pribadi (mikro). “Suatu tindakan benar, jika
mendatang manfaat sebesar-besarnya dan seluas-luasnya bagi suatu
kolektivitas”. Etika ini biasanya menjadi dasar moral bagi gagasan
solidaritas kesukuan, loyalitas partisan, patriotisme nasionalistik, dan
fanatisme keagamaan. Kepentingan pribadi anggotanya tidak menjadi pertimbangan
utama. Ini mengandaikan bahwa suatu
tindakan itu benar, jika dapat mendatangkan kebaikan bagi kepentingan
lembaga: sosial, budaya, politik dan keagamaan.
Meskipun
etika mikro menggunakan perspektif egoisme dan etika makro menggunakan
perspektif utilitarianisme, namun tidak berarti hal itu berlaku secara
eksklusif (tertutup). Karena dapat saja etika mikro menghasilkan cita-cita
utilitarianistik, yaitu ketika pemenuhan kepentingan pribadi telah merata, yang
dengan sendirinya akan mendatangkan konsekuensi baik bagi anggota-anggota
masyarakat lainnya. Semakin luas pemenuhan kepentingan (kebaikan) pribadi
dicapai, maka semakin besar pula manfaat yang akan dirasakan oleh suatu lembaga.
Etika epicureanisme yang menggunakan etika egoisme, umpamanya, memandang bahwa
persahabatan dan kolektivitas adalah pra-syarat bagi pemenuhan kepentingan
pribadi. Kepentingan pribadi tak mungkin tercapai tanpa mempertimbangkan etika
kolektif utilitarianistik yang diajarkan dalam etika makrro.
Demikian
pula sebaliknya, Etika Makro dapat saja menciptakan kebaikan bagi
kepentingan-kepentingan egoistik (mikro). Logikanya, semakin makmur suatu
negara, semakin besar pula kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh warganya, orang
per-orang. Lebih jauh, cita-cita utilitarianistik dalam etika makro, tak
mungkin tercapai tanpa memperhatikan kepentingan personal egoistik yang
diajarkan dalam etika mikro.
Problem
kedua: bagaimana jika suatu perbuatan menghasilkan konsekuensi baik dan
buruk sekaligus? Menonton film baik bagi relaksasi, tapi juga buruk dari
sisi pemborosan waktu. Berobat ke dokter baik bagi kesehatan, tidak buruk bagi
keuangan. Membeli makanan dan pakaian, baik
bagi pemenuhan kebutuhan pokok, tapi tidak baik dari sisi keharusan
membayar pajak dari belanja itu. Aborsi juga baik bagi pertimbangan rasional
menghindari ketidakpastian masa depan anak yang dikandung; tapi tidak baik bagi
norma agama. Dalam kasus-kasus seperti ini, bentuk pemikiran teleologis ini
memandang bahwa yang benar secara moral
adalah tindakan yang dapat mendatangkan kebaikan (manfaat) lebih besar
daripada alternatif tindakan lain yang mempunyai keburukan (mudlarat) lebih
besar. Contohnya: membeli makanan lebih besar manfaatnya, meskipun harus mengeluarkan
biaya, dari menahan lapar, yang mengandung mudlarat lebih besar daripada
manfaat penghematannya.
Konsekuensi
moral dari paham ini adalah munculnya pandangan yang relativistik, atau
kontekstualistik dan kondisional, subjektivistik, dan pragmatis.
3. Intuisionisme (Prima Facie Duties): Hakikat
dan Konsekuensi Moralnya
Bentuk
pemikiran intusionisme, pada awalnya, lahir sebagai jawaban atas problem dasar
pemikiran moral menyangkut logika yang digunakan. Jika diletakkan dalam rumusan
silogistik (premis mayor, premis minor dan kesimpulan), maka baik bentuk
pemikiran deontologis maupun teleologis, tidak pernah menjelaskan bagaimana
proses terciptanya premis mayor yang menjadi dasar dari bangunan silogistik
selanjutnya. Contohnya:
Premis Mayor : Meraih kebahagiaan adalah benar/baik secara moral
Premis Minor : Memenuhi kebutuhan mendatangkan kebahagiaan
Kesimpulan :Setiap
orang harus/sebaiknya memenuhi kebutuhannya
Asal
usul logis dari penilaian (premis mayor) deontologis atau teleologis bahwa
“meraih kebahagiaan adalah benar atau baik”, tidak pernah
dibicarakan. Keduanya muncul secara tiba-tiba (aksiomatik). Apapun yang
dianggap benar/baik atau salah/buruk, akan diterima sebagai prinsip faktual
tentang benar/baik atau salah/buruk. Apakah ada cara untuk membuktikan
validitas penilaian moral itu (premis mayor)?
Bagaimana cara mendapatkan prinsip faktual itu?
Menurut
pandangan naturalistik, apa yang dinilai sebagai “benar” atau “baik”, merupakan
prinsip faktual yang dapat dibuktikan secara empirik, karena menurut pandangan
etika naturalisme, dunia empirik pada dirinya menyimpan fakta-fakta
moral. Apa yang dilihat sebagai benar
atau baik adalah fakta yang empirik.
Bentuk
pemikiran intuisionisme menolak pandangan naturalistik itu. G. E. Moore –salah
satu tokoh utama intuisionisme—mengisyaratkan bahwa: sebuah proposisi
silogistik tidak dapat dibuktikan secara empirik, tapi hanya dapat dirasakan
secara intuitif.[5]
John Stuart Mill –meskipun tak menginisiasikan dirinya pada paham ini,
mengatakan bahwa: “ciri umum dari premis pertama dari pengetahuan kita adalah
tidak dapat dibuktikan dengan nalar, sebagaimana halnya kita tidak dapat
membuktikan prinsip-prinsip awal dari perbuatan kita.”
Pandangan
yang lebih definitif menyatakan bahwa prinsip-prinsip moral akan terbukti
dengan sendirinya (self-evident intuition). Validiltas dan falsitasnya akan
terbukti dengan memahaminya secara intuitif. Belakangan, W. D. Ross
menyatakan bahwa ada prinsip-prinsip yang dapat terbukti dengan sendirinya
(intuitif), seperti: (1) menyatakan kebenaran; (2) menepati janji; (3)
memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat; (4) meraih kebahagiaan; (5) berbuat
baik kepada orang lain; (6) berbuat baik kepada diri sendiri; (7) tidak boleh
menyakiti orang lain. Inilah yang disebut oleh Ross sebagai “prima facie
duties”
Prinsip-prinsip
atau tugas-tugas (duties) itu, merupakan standar moral yang harus
dilakukan, jika tidak ada lagi pertimbangan-pertimbangan moral lain yang dapat
diikuti. Pertimbangan-pertimbangan moral lain, atau yang diistilahkan sebagai “actual
duties”, adalah acuan-acuan moral yang berlaku, baik berupa pertimbangan kewajiban
deontologis, ataupun kepentingan teleologis. Tugas-tugas prima facie
merupakan prinsip-prinsip moral yang intuitif (self-evident). Prinsip-prinsip
itu tidak memberikan acuan-acuan khusus tentang apa yang harus dikerjakan.
Makanya, bentuk pemikiran ini tidak pernah memperkenalkan aturan-aturan
spesifik dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Suatu perbuatan dipandang
benar/baik, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip prima facie,
seperti yang di antaranya telah disebutkan di atas.
Lebih
jauh, prima facie duties, dicanangkan sebagai penengah terhadap kebuntukan
moral yang dihadapi oleh dua bentuk pemikiran terdahulu, yaitu dalam
situasi-situasi ketika terjadi bentukan antara asas manfaat/kepentingan
(teleologis) dengan asas normatif/kewajiban (deontologis). Dalam situasi
inilah, bentuk pemikiran intuitif memberikan prinsip-prinsip dasar (prima
facie) tentang kebenaran (truth). Bentuk prima facie juga menawarkan konsep
baik-buruk –sebagaimana pada pemikiran teleologis. Contohnya, jika seekor
serigala bertanya: “di mana lokasi seekor domba?” Ada dua jawaban yang
tersedia: (1) berkata jujur kepada serigala, dengan konsekuensi membiarkan
domba itu dimangsa; atau (2) berkata bohong, dengan pertimbangan menyelamatkan
domba. Pemikiran intuisionisme tidak merekomendasikan keduanya, karena
sama-sama melanggar prinsip-prinsip moral prima facie. Satu-satunya pilihan
adalah tidak menjawab, sebagai sikap moral yang paling baik.
Pemikiran
prima facie juga dikemukakan oleh sejumlah filosof agama, seperti
William Alston. Menurut Alston, konsep prima facie pada hakikatnya
menjadi isyarat inti yang terkandung dalam ajaran agama; sebagaimana moralitas
intuisionis juga memungkinkan agama untuk mengembangkan spiritualisme
pluralistik.[6]
Dalam
pemikiran etika Islam, wakil yang menonjol dari kecenderungan yang
intuisionistik ini adalah Raghib Isfahani, meskipun pada tingkat tertentu, ia
juga mempunyai kecenderungan naturalistik. Bahkan, menurut George F. Hourani,
dasar pemikiran etika rasionalisme Islam sepadan dengan pemikiran moral
intuisionist ini.
Konsekuensi
dari pemikiran moral ini adalah bahwa munculnya pandangan yang: (1)
relativistik, karena tidak memberikan acuan yang pasti tentang apa yang harus
diperbuat. Semuanya tergantung pada pemahaman dan interpretasi intuitif yang
sangat terbuka. (2) pluralistik, karena ada beragam prinsip yang
direkomendasikan. Akibat bawaannya, acuan moral ini menjadi terlalu toleran dan
permisif. (3) subjektif, karena untuk dapat memahaminya, harus dilakukan
melakukannya terlebih dahulu, sebelum terbukti benar/baik. (4)
nonkonsekuensialis, karena prinsipnya didasarkan pada landasan yang tuntunan
intuitif.
Konsekuensi-konsekuensi
moralistik ini pada gilirannya akan memunculkan kerancuan-kerancuan menyangkut
ketidakpastian dasar pertimbangan moralnya, karena mencampuradukkan antara
konsep legalistik dan partikularistik; nilai benar-salah (value term) dan
baik-buruk (deontik); dan antara teleologi dan deontologi. Subjek moralnya juga
tidak jelas, apakah mengacu pada etika mikro atau makro; egoistik atau
utilitarinistik. Terakhir, model pemikiran ini juga tidak memberikan acuan,
jika terjadi kontradiksi-internal antar prinsip-prinsip prima facienya
sendiri.
Ketiga
bentuk pemikiran moral di atas, pada hakikatnya, ‘hanya’ berbeda pada tingkat
interpretasinya terhadap moralitas. Karena pada tingkat lapangan, ketiga-tiga
saling mengakui:
1.
Deontologisme yang
menekankan nilai benar-salah menurut ketentuan hukum (syara’ atau
undang-undang), pada hakikatnya mengakui nilai baik-buruk (konsekuensi
teleologis) sebagai bagian yang inheren dalam tuntunan moral deontologis. Bahwa
hukum deontik tidak mungkin memerintahkan atau menganjurkan sesuatu yang buruk.
2.
Teleologisme yang
menekankan konsekuensi baik-buruk suatu perbuatan, pada hakikatnya, mengakui
nilai benar-salah sebagai karakter bawaan dari moralitas teleologis. Bahwa apa
yang “baik” sudah pasti “benar”.
3.
Intuisionisme yang
menekankan prinsip non-empirik prima facie, pada hakikatnya merupakan pengakuan
kompromistik terhadap moralitas deontologis dan teleologis sekaligus. Karena
prinsip-prinsip prima facie itu, tidak mungkin melanggar asas-asas kewajiban
moral (deontologis) dan kepentingan moral (teleologis).
[2]Dua syarat pra-kondisional (more conscious and systematic) itu
mengikuti pemikiran moral yang dikemukakan oleh John Dewey.
[3]Howard J. Curzer, Ethical Theory and Moral Problems, (1999)
[4] Berdasarkan rumusan ini, ada yang berpendapat bahwa pemikiran
deontologis yang lunak merupakan pecahan dari pemikiran aksiologi; tapi asumsi
ini mengandung kelemahan prinsipil, bahwa yang aksiologis lebih menitikberatkan
pada unsur ekstrinsik perbuatan –yaitu konsekuensi; sedangkan deontologis, pada
faktor instrinsik perbuatan (khair li dzâtihî).
[5] Ibid., h. 184
[6]William J. Wainwright, Philosophy of Religion, (1999)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar