Disiplin tasawuf
ikut mendefinisikan diri sebagai alternatif lain dalam ber-Islam, yang secara
formal ditandai dengan diperkenalkannya ‘tahap-tahap’
(ah̩wal
dan maqāmat) penghayatan keagamaan oleh al-Haris̍ al-Muh̩āsibī (w. 243/857).
Akhirnya, filsafat ikut meramaikan peta pemikiran
Islam melalui karya-karya filsafat Helenik yang diperkenalkan oleh al-Kindi (w.
256/870).
Proses Integrasi
Setiap disiplin pemikiran menggambarkan corak berpikir
tersendiri, yang masing-masing mewakili budaya berpikir yang unik satu sama
lain. Hampir dapat ditegaskan bahwa satu-satunya yang mewakili tradisi
pemikiran Islam yang orisinal adalah pemikiran fiqh dalam pengertiannya
yang luas, meliputi ajaran tentang hukum dan teologi (pra-kalām), dan dalam kadar tertentu juga
meliputi ajaran tentang moralitas spiritual (pra-tasawuf), dan kegiatan eksplorasi filosofis/ (pra-filsafat), terkait
dengan doktrin nas̩s̩ yang ‘relatif’
dengan persoalan aktual kehidupan umat. Hampir juga dapat ditegaskan bahwa
Islam yang awal tidak mengenal pemikiran spekulatif seperti yang diperkenalkan
dalam format baku kalām, tas̩awwuf dan falsafah.
Wilayah ‘orisinal’ inilah yang ingin dipertahankan
oleh Sunni-Salaf yang diwakili Ah̩mad ibn H̩anbal (w. 241/885), yang di sepanjang karir ke`ulamā’annya menyatakan perang terhadap
kalām formal, tas̩awwuf formal dan falsafah formal
(filsafat). Bagi Ibn H̩anbal, pemikiran Islam hanya
hidup dalam wilayah ajaran z̩āhir nas̩s̩, yang tidak memberi tempat bagi pertanyaan bagaimana (bilā kayf).
Tapi peta Islam sendiri meluas, menjangkau
wilayah-wilayah budaya yang juga luas, sehingga terbentanglah peta pemikiran Islam
yang menerobos teritori tiga disiplin ilmu ‘non-orisinal’. Perjuangan kalām, tasawuf dan filsafat untuk diakui sebagai bagian integral
dalam tradisi Islam baru mendapatkan hasil pada masa al-Ghazālī (w. 505/1111),
setelah melalui berbagai proses rumit, termasuk pemetaan sub-sub maz̍hab dalam masing-masing disiplin pemikiran.
Peta Epistemologis
Empat disiplin pemikiran di atas, secara umum, mewaliki
tiga kecenderungan budaya berpikir dari: (1) Bangsa Arab yang simpel dan
pragmatis; dan ‘hanya’ percaya pada hal-hal konkret; (2) Bangsa Persia yang
njlimet, suka hal-hal yang abstrak dan rasional-idealistik; (3) Bangsa Turki
yang militan dan paternalistik; sehingga lebih suka mendapat suka
instruksi-instruksi doktriner. Maka bangsa Arab menjadi produsen utama kaum `ulamā’ sebagai pengusung logo Fiqh;
bangsa Persia
menjadi produsen utama kaum intelek sebagai pengusung logo filsafat, dan
memasukkan unsur-unsur rasional dalam Fiqh, Kalām dan Tas̩awwuf. Sementara bangsa Turki menjadi sumber munculnya struktur mursyid-murīd
dalam tarekat-tarekat sufistik.
Jambi, 03:08 WIB, 11 Januari 2007
Diskusi Serial Les-QÂF, (11 Januai 2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar