Penting untuk dicatat bahwa istilah fiqh sebelum
era itu, tidak hanya mengacu pada pemikiran hukum positive semata (al-ah̩kām al-taklīfiyyah: halal-haram, sunnah-makruh dan mubah), tapi juga mencakup
pemikiran tentang hal-hal yang berimplikasi teologis, terkait dengan persoalan
iman-kufr dan surga-neraka. Maka dalam al-Fiqh al-Akbar, karya Abū H̩anīfah (w. 150/767), persoalan yang banyak dibahas
justru adalah pandangan-pandangan teologis, dan bukan sebuah karya spesifik di
bidang hukum.
Bersamaan
dengan itu, pemikiran teologis yang secara formal dikenal dengan istilah kalām,
ikut memetakan diri menjadi disiplin yang otonom, terpisah dari kegiatan fiqh. Objeknya adalah penjelasan-penjelasan spekulatif tentang masalah ketuhanan dan ciptaan-Nya
dalam Islam, yang bercikal bakal sejak peristiwa Tah̩̩kīm (37 H.). Disiplin ini berkembang pesat di tangan
Abū al-Hu̍zayl al-‘Allāf (w. 226/841).
Rabu, 19 Maret 2014
PETA
UMUM PEMIKIRAN ISLAM
Kayu Manis II, 03:08 WIB, 11 Januari 2007
Menurut tradisi awalnya, dalam sejarah kenabian, Islam
tak terpetakan ke dalam kotak-kotak pemikiran sebagaimana yang dikenal sekarang.
Maka tidak ada pemikiran formal-disipliner yang berkembang pada masa Rasul SAW,
terkait langsung dengan doktrin keislaman. Ini menjelaskan mengapa
wilayah-wilayah yang tidak menjadi doktrin mutlak dalam Islam dilimpahkan
kepada proses ijtihād, dengan tingkat kewenangan yang variatif
disesuaikan dengan tingkat keterkaitannya dengan doktrin yang bersifat ilahi.
Kalender Kemunculan Formal
Pemikiran formal-disipliner yang pertama kali muncul
dalam sejarah kelanjutan Islam di luar tradisi kenabian adalah pemikiran
tentang hukum yang objeknya adalah ‘kebijakan-kebijakan’ yang terdapat di dalam nash yang berkonsekuensi hukum, yang dikenal dengan
istilah al-ahkām al-syar’iyyah. Kegiatan pemikiran ini dikenal dengan istilah
fiqh, yang resmi menjadi disiplin yang berdiri sendiri pada era al-Syāfi’ī (w. 204/820).
[bersambung...]
Langganan:
Komentar (Atom)