Rabu, 19 Maret 2014

PETA UMUM PEMIKIRAN ISLAM2

Penting untuk dicatat bahwa istilah  fiqh sebelum era itu, tidak hanya mengacu pada pemikiran hukum positive semata (al-ah̩kām al-taklīfiyyah: halal-haram, sunnah-makruh dan mubah), tapi juga mencakup pemikiran tentang hal-hal yang berimplikasi teologis, terkait dengan persoalan iman-kufr dan surga-neraka. Maka dalam al-Fiqh al-Akbarkarya Abū H̩anīfah (w. 150/767), persoalan yang banyak dibahas justru adalah pandangan-pandangan teologis, dan bukan sebuah karya spesifik di bidang hukum.
Bersamaan dengan itu, pemikiran teologis yang secara formal dikenal dengan istilah kalām, ikut memetakan diri menjadi disiplin yang otonom, terpisah dari kegiatan  fiqhObjeknya adalah penjelasan-penjelasan spekulatif tentang masalah ketuhanan dan ciptaan-Nya dalam Islam, yang bercikal bakal sejak peristiwa Tah̩̩kīm (37 H.). Disiplin ini berkembang pesat di tangan Abū al-Hu̍zayl al-‘Allāf (w. 226/841).
PETA UMUM PEMIKIRAN ISLAM
Kayu Manis II, 03:08 WIB, 11 Januari 2007

Menurut tradisi awalnya, dalam sejarah kenabian, Islam tak terpetakan ke dalam kotak-kotak pemikiran sebagaimana yang dikenal sekarang. Maka tidak ada pemikiran formal-disipliner yang berkembang pada masa Rasul SAW, terkait langsung dengan doktrin keislaman. Ini menjelaskan mengapa wilayah-wilayah yang tidak menjadi doktrin mutlak dalam Islam dilimpahkan kepada proses ijtihād, dengan tingkat kewenangan yang variatif disesuaikan dengan tingkat keterkaitannya dengan doktrin yang bersifat ilahi.
Kalender Kemunculan Formal
Pemikiran formal-disipliner yang pertama kali muncul dalam sejarah kelanjutan Islam di luar tradisi kenabian adalah pemikiran tentang hukum yang objeknya adalah ‘kebijakan-kebijakan’ yang terdapat di dalam nash yang berkonsekuensi hukum, yang dikenal dengan istilah al-ahkām al-syar’iyyah. Kegiatan pemikiran ini dikenal dengan istilah fiqh, yang resmi menjadi disiplin yang berdiri sendiri pada era al-Syāfi’ī (w. 204/820).

[bersambung...]