Penting untuk dicatat bahwa istilah fiqh sebelum
era itu, tidak hanya mengacu pada pemikiran hukum positive semata (al-ah̩kām al-taklīfiyyah: halal-haram, sunnah-makruh dan mubah), tapi juga mencakup
pemikiran tentang hal-hal yang berimplikasi teologis, terkait dengan persoalan
iman-kufr dan surga-neraka. Maka dalam al-Fiqh al-Akbar, karya Abū H̩anīfah (w. 150/767), persoalan yang banyak dibahas
justru adalah pandangan-pandangan teologis, dan bukan sebuah karya spesifik di
bidang hukum.
Bersamaan
dengan itu, pemikiran teologis yang secara formal dikenal dengan istilah kalām,
ikut memetakan diri menjadi disiplin yang otonom, terpisah dari kegiatan fiqh. Objeknya adalah penjelasan-penjelasan spekulatif tentang masalah ketuhanan dan ciptaan-Nya
dalam Islam, yang bercikal bakal sejak peristiwa Tah̩̩kīm (37 H.). Disiplin ini berkembang pesat di tangan
Abū al-Hu̍zayl al-‘Allāf (w. 226/841).
ketiganya mana mas?
BalasHapus