Senin, 14 April 2014

PETA UMUM PEMIKIRAN ISLAM (3)


Disiplin tasawuf ikut mendefinisikan diri sebagai alternatif lain dalam ber-Islam, yang secara formal ditandai dengan diperkenalkannya ‘tahap-tahap’ (ah̩wal dan maqāmat) penghayatan keagamaan oleh al-Haris̍ al-Muh̩āsibī (w. 243/857).
Akhirnya, filsafat ikut meramaikan peta pemikiran Islam melalui karya-karya filsafat Helenik yang diperkenalkan oleh al-Kindi (w. 256/870).
Proses Integrasi
Setiap disiplin pemikiran menggambarkan corak berpikir tersendiri, yang masing-masing mewakili budaya berpikir yang unik satu sama lain. Hampir dapat ditegaskan bahwa satu-satunya yang mewakili tradisi pemikiran Islam yang orisinal adalah pemikiran fiqh dalam pengertiannya yang luas, meliputi ajaran tentang hukum dan teologi (pra-kalām), dan dalam kadar tertentu juga meliputi ajaran tentang moralitas spiritual (pra-tasawuf), dan kegiatan eksplorasi filosofis/ (pra-filsafat), terkait dengan doktrin nas̩s̩ yang ‘relatif’ dengan persoalan aktual kehidupan umat. Hampir juga dapat ditegaskan bahwa Islam yang awal tidak mengenal pemikiran spekulatif seperti yang diperkenalkan dalam format baku kalām, tas̩awwuf dan falsafah.
Wilayah ‘orisinal’ inilah yang ingin dipertahankan oleh Sunni-Salaf yang diwakili Ah̩mad ibn H̩anbal (w. 241/885), yang di sepanjang karir ke`ulamā’annya menyatakan perang terhadap kalām formal, tas̩awwuf formal dan falsafah formal (filsafat). Bagi Ibn H̩anbal, pemikiran Islam hanya hidup dalam wilayah ajaran z̩āhir nas̩s̩, yang tidak memberi tempat bagi pertanyaan bagaimana (bilā kayf).
Tapi peta Islam sendiri meluas, menjangkau wilayah-wilayah budaya yang juga luas, sehingga terbentanglah peta pemikiran Islam yang menerobos teritori tiga disiplin ilmu ‘non-orisinal’. Perjuangan kalām, tasawuf dan filsafat untuk diakui sebagai bagian integral dalam tradisi Islam baru mendapatkan hasil pada masa al-Ghazālī (w. 505/1111), setelah melalui berbagai proses rumit, termasuk pemetaan sub-sub maz̍hab dalam masing-masing disiplin pemikiran.
Peta Epistemologis
Empat disiplin pemikiran di atas, secara umum, mewaliki tiga kecenderungan budaya berpikir dari: (1) Bangsa Arab yang simpel dan pragmatis; dan ‘hanya’ percaya pada hal-hal konkret; (2) Bangsa Persia yang njlimet, suka hal-hal yang abstrak dan rasional-idealistik; (3) Bangsa Turki yang militan dan paternalistik; sehingga lebih suka mendapat suka instruksi-instruksi doktriner. Maka bangsa Arab menjadi produsen utama kaum `ulamā’ sebagai pengusung logo Fiqh; bangsa Persia menjadi produsen utama kaum intelek sebagai pengusung logo filsafat, dan memasukkan unsur-unsur rasional dalam Fiqh, Kalām dan Tas̩awwuf. Sementara bangsa Turki menjadi sumber munculnya struktur mursyid-murīd dalam tarekat-tarekat sufistik.

Jambi, 03:08 WIB, 11 Januari 2007


Diskusi Serial Les-QÂF, (11 Januai 2007) 

Rabu, 19 Maret 2014

PETA UMUM PEMIKIRAN ISLAM2

Penting untuk dicatat bahwa istilah  fiqh sebelum era itu, tidak hanya mengacu pada pemikiran hukum positive semata (al-ah̩kām al-taklīfiyyah: halal-haram, sunnah-makruh dan mubah), tapi juga mencakup pemikiran tentang hal-hal yang berimplikasi teologis, terkait dengan persoalan iman-kufr dan surga-neraka. Maka dalam al-Fiqh al-Akbarkarya Abū H̩anīfah (w. 150/767), persoalan yang banyak dibahas justru adalah pandangan-pandangan teologis, dan bukan sebuah karya spesifik di bidang hukum.
Bersamaan dengan itu, pemikiran teologis yang secara formal dikenal dengan istilah kalām, ikut memetakan diri menjadi disiplin yang otonom, terpisah dari kegiatan  fiqhObjeknya adalah penjelasan-penjelasan spekulatif tentang masalah ketuhanan dan ciptaan-Nya dalam Islam, yang bercikal bakal sejak peristiwa Tah̩̩kīm (37 H.). Disiplin ini berkembang pesat di tangan Abū al-Hu̍zayl al-‘Allāf (w. 226/841).
PETA UMUM PEMIKIRAN ISLAM
Kayu Manis II, 03:08 WIB, 11 Januari 2007

Menurut tradisi awalnya, dalam sejarah kenabian, Islam tak terpetakan ke dalam kotak-kotak pemikiran sebagaimana yang dikenal sekarang. Maka tidak ada pemikiran formal-disipliner yang berkembang pada masa Rasul SAW, terkait langsung dengan doktrin keislaman. Ini menjelaskan mengapa wilayah-wilayah yang tidak menjadi doktrin mutlak dalam Islam dilimpahkan kepada proses ijtihād, dengan tingkat kewenangan yang variatif disesuaikan dengan tingkat keterkaitannya dengan doktrin yang bersifat ilahi.
Kalender Kemunculan Formal
Pemikiran formal-disipliner yang pertama kali muncul dalam sejarah kelanjutan Islam di luar tradisi kenabian adalah pemikiran tentang hukum yang objeknya adalah ‘kebijakan-kebijakan’ yang terdapat di dalam nash yang berkonsekuensi hukum, yang dikenal dengan istilah al-ahkām al-syar’iyyah. Kegiatan pemikiran ini dikenal dengan istilah fiqh, yang resmi menjadi disiplin yang berdiri sendiri pada era al-Syāfi’ī (w. 204/820).

[bersambung...]